Kepercayaan Halaik di Sulteng dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Halaik dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang diputuskan pada tanggal 18 Oktober 2017, serta dibacakan di sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 November 2017 tentang uji materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang dasar Republik Indonesia, patut diterima sebagai terobosan hukum progresif di Indonesia.

Dalam dimensi yang lebih luas, tentunya keputusan tersebut mengikat secara hukum serta bersifat final, sehingga harus menjadi landasan berpikir dan bertindak semua pihak di Indonesia terkait kedudukan aliran kepercayaan dalam administrasi kependudukan. Termasuk bagaimana seharusnya seluruh pihak di Provinsi Sulawesi Tengah menerima keputusan itu dengan lapang dada. Sebab, bagaimanapun putusan MK tersebut juga berkaitan dengan situasi faktual di daerah ini dimana masih dapat dijumpai penganut aliran kepercayaan seperti yang dimaksudkan dalam putusan itu.

Salah satu aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Sulawesi Tengah adalah “Halaik”. Kepercayaan tersebut diyakini oleh sebahagian orang Wana, atau yang juga lazim disebut Tau Taa Wana. Terkhusus bagi Tau Taa Wana yang bermukim di dataran tinggi serta di dalam dan sekitar hutan.

Sedangkan bagi orang Wana yang sudah bermukim di wilayah perdesaan serta pesisir umumnya sudah menganut agama-agama resmi yang ada di Indonesia.Secara umum, orang Wana atau Tau Taa Wana penganut “Halaik” tersebar di dataran tinggi di Kabupaten Morowali Utara, Tojo Una-Una dan Banggai.

Dari hikayat yang mereka tuturkan ke setiap generasi, dijumpai mitologi tentang asal usul orang Wana. Mereka percaya jika leluhurnya berasal dari suatu tempat bernama “Tundantana” di tengah kedalaman dan kelebatan hutan tropis di Kajuramarangka, daerah yang kini masuk dalam wilayah Morowali Utara.Kemudian mereka menyebar ke berbagai tempat, ke wilayah utara di Kabupaten Tojo Una-Una, ke sebelah timur di Kabupaten Banggai, serta sebahagian berpencar di Kabupaten Mowoali Utara.

Orang Wana yang menganut “Halaik” percaya bahwa ada kekuasaan dan kekuatan di luar sana yang maha tunggal yang mengatur alam semesta ini.Sebagai bentuk penghormatan dan ketundukan terhadap sesutu yang maha kuasa dan maha tunggal tersebut, mereka ekspresikan dalam bentuk penyebutan “Pue”. Sebagai penganut Halaik, orang Wana percaya jika alam semesta merupakan tanda kebesaran dari Tuhan Yang Maha Kuasa (Pue).

Oleh sebab itu, manusia (tau), tanah (tana), air (ue) hutan (pangale), sungai (koro), gunung (buyu), hewan dan tumbuhan merupakan tanda kehidupan yang dititipkan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Pue), sehinga satu dengan lainnya mesti saling menjaga, menghormati dan mengasihi.Tanah sebagai basis kehidupan manifestasi dari kecintaan Tuhan Yang Maha Esa (Pue) kepada manusia dan mahluk lainnya. Merusak kesuburan tanah berarti merusak kecintaan Tuhan Yang Maha Esa (Pue).“Halaik” dalam bahasa lokalnya bermakna “menundukan diri”.

Sikap “menundukan diri” tersebut sebagai bentuk keyakinan mereka bahwa manusia dan segala alam semesta ini ada yang mengaturnya. Manusia tidak boleh angkuh, sombong dan congkak, sebab semuanya akan musnah ketika seseorang meninggalkan dunia ini. Orang Wana sebagai penganut Halaik juga percaya jika roh-roh leluhur yang baik ketika meninggalkan dunia ini tetap ada di sekitar mereka.

Sehingga mereka percaya dan meyakini bahwa tubuh kasar manusia (raga) yang sudah meninggal akan bersemayam di puncak-puncak gunung, sedangkan tubuh halus (jiwa) yang sudah meniniggal akan mengalir bersama air sungai. Karena itu mereka juga berprinsip bahwa “gunung adalah raga dan sungai adalah jiwa”.

Dimensi Hak Azasi Manusia

Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia (DUHAM) sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terkait penghormatan dan pengakuan terhadap keyakinanan, kepercayaan serta keimanan seseorang. Sebab merupakan hak azasi seorang individu untuk memilih satu bentuk keyakinan, kepercayaan atau keimanan tertentu sesuai dengan pengalaman bathinnya.

Keyakinan, kepercayaan dan keimanan (faith) kemudian secara termanifestasikan sebagai kegamaan (religions), serta mendapat pengakuan oleh kerangka hukum dan kebijakan negara. Seterusnya masyarakat dan pemerintah Indonesia mengakui secara formalistik kepada ekspresi keagamaan tertentu yang dipandang selaras dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Sila Pertama Pancasila.

Dalam kasus administrasi kependudukan terhadap orang Wana penganut Halaik, situasinya sungguh ironis. Setiap orang Wana penganut Halaik diminta memilih salah satu agama formal di Indonesia untuk pengisian di kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga (KK). Karena mereka penganut/penghayat Aliran Kepercayaan bernama “Halaik”, maka kolom isian agama mesti dikosongkan.

Karena kepercayaan mereka tidak termasuk ke dalam agama-agama resmi yang dianut di Indonesia. Agar kolom agama tersebut tidak dikosongkan, mereka dianjurkan oleh petugas di kantor desa, kecamatan maupun di kabupaten pada saat mengurus KTP/KK agar memilih salah satu dari agama formal yang diakui di Indonesia. Merekapun terpaksa mengikuti anjura tersebut demi keabsahan di lembat KTP/KK.

Hal tersebut terjadi dan telah berlangsung sejak lama akibat cara pandang sebahagian kalangan terhadap penganut/penghayat Aliran Kepercayaan, seperti yang dialami oleh penganut Halaik. Dengan kata lain, sebahagian pihak masih memandang bahwa mereka penganut/penghayat Aliran Kepercayaan Halaik belum beragama.

Meskipun secara substansi penganut/penghayat Halaik sangat meyakini Tuhan Yang Maha Esa, meskipun dengan penyebutan berbeda yaitu “Pue”. Hingga saat ini, kita akan mendapati berbagai nama agama foirmal tertera pada kolom agama di KTP setiap penganut Halaik. Sebab, mereka tidak punya pilihan selain memilih salah satu di antara agama formal yang ada, agar kolom agama di lembar KTP/KK mereka tidak dikosongkan.

Sejalan dengan persoalan tersebut, Mahakamah Konstituis telah melakukan pengujian materi atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Uji materi tersebut dilakukan atas pengajuan dari perwakilan penganut atau penghayat Marapu di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, penghayat Parmalin di Toba Samosir, Sumatera Utara, penghayat Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara, serta penghayat Sapto Darmo di Brebes, Jawa Tengah.

Dalam amar putusannya yang dibacakan di hadapan publik pada tanggal 7 November 2017 di Jakarta, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa para penganut atau penghayat Aliran Kepercayaan tidak boleh dikosongkan identitas keyakinanya di kolom agama KTP/KK.

Apapun bentuk keyakinan mereka di luar dari agama-agama formal di Indonesia mesti dimasukan pada kolom isian agam di lembar KTP/KK. Sebab, pengosongan identitas keyakinan seorang warga negara Indonesia pada kolom isian agama di lembar KTP/KK merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta melanggar hak azasi manusia.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final serta mengikat secara hukum, sehingga juga berlaku bagi orang Wana yang menganaut Halaik di Sulawesi Tengah. Kita berharap bahwa otoritas administrasi kependudukan di daerah ini dapat mengikuti dan mentaati Putusan Mahakamah Konstitusi, sembari melakukan upaya-upaya perbaikan untuk mengakomodir penganut Halaik dicantumkan identitas keyakinannya di lembar KTP/KK. Maupun terhadap komunitas-komunitas lainnya di Sulawesi Tengah yang menganut/menghayat Aliran Kepercayaan.

*Penulis adalah Dewan Nasional WALHI dan peneliti ekosob di SIMPUL SULAWESI.

Sumber: Media Cetak Radar Sulteng selasa 13 Maret 2018

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *