Tidak Diganggu Saja Tau Taa Bisa Hidup Baik

     13 Agustus 2022, bertempat di Balai Pertemuan Lipu Kasiala Kabupaten Tojo Una-una dilaksanakan perayaan Hari Internasional Sedunia. Perayaan dilaksanakan secara sederhana ini dilanjutkan dengan diskusi refleksi kehiduoan komunitas adat khususnya di Kabupaten Tojo Una-una.
Menurut penyelenggara Ir Amran Tambaru, bahwa Masyarakat Adat telah diakui secara internasional oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), baik yang hidup di pedalaman dan kepulauan yang masih memegang teguh adat dan tradisi. Kerangka hukum internasional menyebutkan bahwa aturan adat/ hukum adat, lembaga adat, pengetahuan lokal dan wilayah adat. Mayarakat hukum adat perlu dihormati, diakui dan dilindungi hak-haknya oleh Negara. Dalam konteks nasional, Negara kita telah mengakui keberadaan masyarakat adat dan dicantumkan dalam Konstitusi – UUD 1945. Pada Pasal 18B ayat (2) : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, ungkap Amran yang juga DIrektur YMP Sulteng. Pada tingkat daerah, keberadaan masyarakat hukum adat Taa Wana secara kebijakan telah diakui melalui Perda No. 11 Tahun 2017 tentang Pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Tau Taa Wana di Kabupaten Tojo Una-una.

Mogombo (pertemuan) di Lipu Kasiala

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Lipu Kasiala
Pola relasi masyarakat hukum adat dengan lingkungan alam khususnya hutan sejak lama terjadi secara harmoni. Hutan dan isinya merupakan mahluk yang keberadaannya harus dipelihara agar terjadi keseimbangan. Sistem pengetahuan masyarakat hukum adat dan dipedomani hukum adat serta struktur kelembagaan adat yang menjalankan putusan adat secara musyawarah merupakan cerminan menjawab masalah yang terjadi dalam kehidupan komunitas.
Keberadaan masyarakat hukum adat Menurut Ibu Nekeyane tidak diganggu saja wilayah adat, kami bisa hidup dan berkembang baik. Ikan teri (Nike/ Duwo) di Sungai Bongka tetap berkembang biak dan dapat dipanen. Warga kampung menanam pae (padi ladang), menanam sayuran untuk dikonsumsi dalam rumah tangga. Begitupun menurut Deni Soro (Warga Lipu Kayoyo) Lembaga Adat atau Dewan Adat Lipu Linte menjalankan hukum adatnya termasuk jika ada pelanggaran adat diberi sanksi adat. Semuanya berjalan sesuai irama alam.
Namun begitu sesekali kehidupan warga terusik dengan kedatangan pihak luar. Menurut NSojo Woge (anggota BPD) bahwa Rencana Pembangunan PLTA Sungai Bongka – jika itu terbangun maka akan membendung aliran air pada lokasi tebing. Hal ini mengancam pemukinan warga khususnya di dusun Woontowu. Tidak itu saja, menurutnya lahan produksi warga pada kebun (navu) juga akan hilang. Yang menyedihkan lagi habitat Maleo di Boneraya di muara Sungai Salubuko juga akan menghilang.
Yadi menimpali, orang luar kalau berburu rusa atau mengambil telur maleo tanpa sepengetahuan lembaga adat. Belum lagi menyerobot hutan kami dengan mengambil kayu, damar dan rotan di wilayah adat. Mereka tidak minta pamit ke lembaga adat. Ungkapnya dalam mogombo bae (musyawarah besar).
Menurut Indo Nia Paro, yang kita butuhkan Tana nTau Tua Mami (Wilayah Adat) diakui pemerintah begitupun pihak luar menghormati wilayah dan hukum adat kami, harapnya. Indo ini menjelaskan kalau pembangunan PLTA dijadikan dan orang luar bertindak semena-mena yang banyak menderita nantinya adalah kita semua khususnya perempuan dan anak-anak.
Menydari hal itu menurut Kades, Imran Pada, warga kami masih butuh menambah pengetahuan dari pihak luar supaya warga bisa kuat dan bisa menjalankan amanah tau tua. Searah dengan itu Tude (Lembaga Adat) berharap ada Skola Lipu juga di Linte untuk memfasilitasi remaja dan ibu-ibu yang tidak bisa membaca dan menulis. Menurutnya masih banyak warga berusia 15 taun ke atas belum bisa membaca, menlis dan berhitung.

Mogombo di Lipu Linte

Renaksi untuk Perubahan
Menurut Amran (YMP Sulteng), untuk keluar dari masalah tersebut bersama warga membuat rencana aksi dalam rangka inventarisasi masyarakat hukum adat. RUjukan penyusunan tersebut adalah Permendagri 52 tahun 2015 tentang Pedoman PPMHA, yakni 1) Sejarah Masyarakat Hukum Adat; 2) Wilayah Adat; 3) Hukum Adat; 4) Kelembagaan/ SIstem Pemerintahan Adat; dan 5) Harta Kekayaan dan atau benda-benda adat
Pendokumentasian wilayah adat tentu saja melalui pemetaan wilayah adat. Pemetaan dilakukan untuk memperjelas batas-batas wilayah adat. Selain itu melalui pemetaan didapatkan data social dan data potensi ekonomi yang dimilliki komunitas. Pelibatan MHA dalam pemetaan merupakan sesuatu hal yang mutlak – karena hanya masyarakat setempat yang mengetahui dimana batas dan asal usul nama-nama tempat yang dipetakan (toponimi),
Searah dengan itu menurut Suarno, Lipu Linte penting juga dipetakan untuk mengetahui soal batas wilayah adat Lupu Linte. Harapan warga, Tana nTau Tua (wilayah adat) Lipu Linte perlu dipetakan. Bulan September sampai Oktober secara partisipatif direncanakan untuk memetakan wilayah adat ke dua Lipu ini sambal menggali data asal usul, hukum adat dan kelembagaan adat, serta data social dan ekonomi (harta kekayaan atau benda-benda adat), ungkap Badri menyimpulkan saran dan harapan dari warga. ZF

Lihat Juga

KARAMHA Sulteng Dorong Hutan Adat Masuk Dalam Perda Tata Ruang

PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) ...

Kawal, Implementasi Perda Masyarakat Adat

Patut disyukuri akhirnya tersusun rencana aksi untuk mengimplemntasikan isi dari Perda Kabupaten Tojo Una-Una No ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *