Tradisi Bertani Ladang Orang Wana Posangke

Sistem ladang merupakan sistem pertanian tradisional, dalam pertanian seperti ini pengolahan tanah sangat minimum, produktifitas hasil tanaman sangat bergantung pada kesuburan tanah karena adanya humus yang dihasilkan oleh sistem hutan yang terjaga, karena itulah dalam masyarakat yang mempraktikan perladangan hubungan dan ketergantungan mereka terhadap hutan sangat tinggi.

gambar agrtikel
Insert Foto : Padi Ladang Tau Taa Wana

Masyarakat adat Wana Posangke memiliki dan masih menjalankan ajaran leluhur sebagai pedoman dalam kehidupan mereka, aturan tersebut mencakup segala aspek kehidupan, dari sistem kepercayaan, kehidupan sosial, sumber penghidupan termasuk tata guna lahan dan pertanian ladang dengan model gilir balik.

Sebagaimana leluhur mereka, orang Wana Posangke menanam padi atau dalam bahasa setempat pae di ladang atau yang mereka sebut navu, navu ini berada disekitar lipu (kampung) mereka, tradisi bertani ini adalah bentuk kehidupan subsisten mereka, dalam ketentuan adat padi atau beras yang mereka tanam tak boleh diperjualbelikan.

Ada berbagai jenis padi lokal yang dimiliki orang Wana Posangke diantaranya pae uva, pae langkai, pae saja, pae puyu moge, dan pae pulu rapa serta beberapa jenis padi lokal lainnya. Proses penanamannya dilakukan dengan ritual tertentu, dimulai dari pembukaan lahan hingga panen dan paska panen.

Ladang yang akan dibuka adalah lahan bekas ladang yang telah ditinggalkan 2 hingga 3 tahun dan telah ditumbuhi pepohonan, lahan ini mereka sebut yopo mangura. Lahan bekas ladang sengaja ditinggalkan untuk memberikan waktu bagi tanah guna memulihkan kesuburannya.

Proses membuka lahan diawali dengan melakukan semacam observasi (maloa yopo) yakni mengamati kondisi lokasi yang akan dibuka, apabila saat memeriksa lahan tersebut ditemukan beberapa jenis hewan (oni-oni) tertentu seperti ule vuri (ular hitam) dan beberapa jenis burung tertentu seperti tonsi kapoa (burung hantu) maka lahan tersebut tidak boleh dibuka. Dalam kepercayaan mereka lahan tersebut tidak akan menghasilkan malah akan mendatangkan malapetaka.

Setelah lahan dianggap baik maka dilakukan Kapongo yakni ritual doa sambil makan pinang yang dipimpin oleh ketua adat, kemudian lahan dibersihkan sedikit. Esoknya dimulai pekerjaan membuka lahan, di hari pertama ini si pemilik lahan bekerja hanya setengah hari yakni sampai jam 1 atau jam 2 dan tidak dibolehkan sampai sore hari.

Hari berikutnya sudah boleh bekerja sampai sore atau jam 5, pekerjaan menyiapkan lahan ini meliputi menebang pohon dan menebas belukar yang mereka sebut yau mosasa, lalu masa menunggu hingga bekas tebangan tersebut kering, ini biasanya berlangsung selama satu bulan dan selanjutnya membakarnya. Sebelum membakar terlebih dahulu dilakukan ritual doa (kapongo), proses membakar ini pertama harus dilakukan oleh pemilik lahan, setelah itu kegiatan berikutnya adalah menugal yang juga harus didahului dengan ritual doa (kapongo). Mouyunsu‘a adalah kegiatan pertama tanam padi yang juga diawali dengan kapongo.

Pada proses mouyunsu’a ini, semua jenis padi yang akan ditanam diletakan di dalam wadah berupa anyaman yang mereka sebut pangkeni. Berbagai jenis padi tersebut kemudian ditanam di petak-petak yang terbuat dari kayu jenis tertentu yang mereka namakan kayu yoa. Kayu ini kemudian disulam diatas tanah, ditancap di dalam tanah sejumlah 4 petak lalu ditanami jole (jagung), satu toko nuvi (singkong), smata mpae (cocor bebek).
Setelah penanaman awal selesai, dilanjutkan dengan penanaman padi. Pada proses menanam ini biasanya dilakukan kaum perempuan mulai dari menugal hingga mengisi benihnya. Biasanya pada proses menanam ini dilakukan sendiri-sendiri sebab semua anggota komunitas sibuk membuka kebun masing-masing karena waktu menanam yang serentak.

Setelah padi tumbuh sesekali mereka membersihan ladang tersebut dengan menggunakan parang atau sabit, kegiatan ini juga lebih banyak dilakukan kaum perempuan, sebab para lelaki biasanya memulai kesibukan mencari damar. Setelah kurang lebih 4 bulan maka padi tersebut siap dipanen, masa panen bervariasi tergantung dari jenis padi, dari 4 hingga 5 bulan.

Biasanya orang Wana Posangke menanam 6 jenis padi seperti pae langkai, pae uva, pae saja, pae puyu rapa, pae mogalo, pae puyu moge. Dari enam jenis padi ini yang pertama ditanam adalah padi berumur 5 bulan, lalu padi antara 4-5 bulan, dan terakhir padi yang berumur 4 bulan. Maka pada saat panen yang lebih dulu dipanen adalah padi yang berusia 4 bulan, kemudian padi antara dan terakhir padi 5 bulan.
Panen dilakukan dengan bergotong royong, orang Wana Posangke memanen padi dengan menggunakan alat yang mereka sebut ‘’piso atau pota’’ terbuat dari irisan bambu yang tajam, atau besi khusus yang tajam yang diselipkan/dijepit pada bamboo, sementara wadah tempat menaruh padi mereka sebut pomaku, sejenis bakul yang digendong dipunggung.

Sebelum memanen padi terlebih dahulu dilakukan ritual doa (kapongo), padi yang pertama dipanen adalah padi yang ditanam pertama saat “Mouyunsu’a“, padi yang dipanen lebih dulu itu nantinya akan disimpan di lumbung yang dalam bahasa setempat mereka sebut konda, dan dan tidak boleh diambil.
Padi yang telah dipanen akan dijemur selama beberapa hari, hasil panen tersebut akan akan diikat, jumlah ikatan itu akan menunjukan berhasil atau tidaknya musim tanam mereka. waktu penjemuaran membutuhkan waktu lama, maka mereka menjemur padi dengan menggunakan sampe. Sampe ini menyerupai rumah tak berdinding, dibuat dengan menggunakan enam batang kayu yang melintang, seperti halnya membuat jemuran tapi bersusun ke atas dengan jarak 40 sampai 50 cm dengan panjang 2 meter.

Di susunan paling atas dipasang atap, biasanya ada 4 lembar atap yang digunakan. Atap ini bertujuan untuk melindungi padi yang dijemur dari hujan. Pengerjaan sampe ini sepenuhnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Setelah kering, padi tersebut akan disimpan di dalam konda, hasil padi tersebut sebagian diperuntukan untuk kebutuhan konsumsi, sebagian lagi untuk kebutuhan benih di masa tanam berikutnya.
Padi yang akan dikonsumsi terlebih dahulu di proses dengan cara cara ditumbuk. Alat yang mereka gunakan adalah lesung, alu dan tapisan. kegiatan menumbuk padi biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

Bila panen berhasil maka akan dilaksanakan acara syukuran panen atau mereka namakan Pura”a. Acara ini biasanya mereka rayakan selama 2 hari di bulan Juni . Dalam pesta syukuran ini orang-orang yang hadir akan dijamu dengan minuman pongas dan berbagai makanan, selain itu mereka juga melakukan Momago (ritual adat), ritual ini biasanya digabungkan dari beberapa Lipu dan masing-masing anggota komunitas akan menyumbangkan minuman pongas, beras atau ayam untuk kebutuhan acara tersebut. (murni & edy)

Lihat Juga

MASYARAKAT BALEAN TERIMA SK HUTAN DESA

(Jakarta, 26/10/2017),Presiden Jokowi menyerahkan SK Hutan Desa Balean kepada Ketua lembaga pengelola hutan Desa Balean, ...

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...