Palu, 30 Maret 2019. Masyarakat Kaili pernah bahkan sering mengalami bencana alam terutama bencana gempa bumi yang disebut ”Lingu”, air pasang (tsunami) yang disebut “Bombatalu” serta likuifaksi yang disebut “Nalodo”. Masyarakat Kaili meyakini bahwa gempa bumi merupakan sumber bencana bagi timbulnya bencana lain yang membuat manusia tidak berdaya dan tunduk dihadapan alam yang murka. Kearifan lokal terkait dengan penyimbolan peristiwa alam itu rupanya berkaitan pula dengan mitos-mitos masyarakat Kaili yang masih hidup hingga saat ini. Untuk upaya mitigasi yang dilakukan berbasis kearifan lokal dan upaya pengaturan tata ruang. Mitigasi berbasis kearifan lokal bupaya menghalau datangnya bencana alam baik gempa bumi maupun bencana penyakit, diantaranya dilakukan melalui tindakan tradisional seperti “Tula Bala”. Sedangkan mitigasi berbasis ruang diantaranya memanfaatkan dataran tinggi seperti ladang/kebun ketika darurat bencana. Belajar dari peristiwa yang lalu masyarakat Kaili menyadari bahwa tata kelola ruang berdasarkan histori dan kearifan lokal akan mengurangi resiko bencana.
Pernyataan tersebut diungkapkan tim periset saat menggelar Diskusi terbatas Masyarakat Adat dan Kebencanaan di Palupi room, YMP Sulteng yang digelar 23 Maret 2019. Tim periset yang terdiri dari 3 orang, Ni Made Era Widiantari, Moh. Nutfa, dan Ni Luh Nita Rini dalam paparannya memberi gambaran bahwa perubahan pada corak berpikir masyarakat yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang permanen, dianggap kokoh dan bahkan bergaya modern. Sehingga rumah bergaya tradisional seperti rumah panggung dan rumah papan secara perlahan mulai ditinggalkan. Kondisi ini dapat diamati pada masyarakat Desa Tompe Kabupaten Donggala yang sebagian besar rumah hunian adalah rumah tembok, meski dahulunya rumah-rumah tradisional masyarakat Kaili masih dapat ditemukan di wilayah ini.
Rumah tradisional merupakan warisan kearifan lokal pada masyarakat Kaili. “Banua Langa” merupakan rumah tradisional berbentuk bujur sangkar yang memanjang kesamping. Selain Banua Langa, rumah papan yang berbahan dasar kayu juga tidak mengalami kerusakan atau roboh dan hancur. Meskipun gempa berkekuatan 7.7 SR mengguncang namun rumah tradisional ini tetap berdiri kokoh tanpa kerusakan. Rumah tradisional ini dapat ditemukan di Desa Beka dan sekitarnya. Namun pemandangan berbeda pada rumah-rumah yang berbahan semen yang banyak didapatkan di lokasi ini karena tidak dapat menahan beban gempa. Kegiatan Riset ini merupakan hasil kerjasama YMP Sulteng dengan dengan Program Stapak TAF SETAPAK 2 – The Asia Foundation. Melihat hasil temuan tersebut, menurut Edy Wicaksono penanggung jawab kegiatan bahwa selain diskusi, hasil riset ini akan dikembalikan ke komunitas dan pemerintah daerah dalam bentuk selebaran publikasi agar pengetahuan lokal kebencanaan dapat menjadi alternatif dalam program mitigasi bencana. Zf