Palu, (01/04/19) – Pasca bencana, kekerasan terhadap perempuan dan anak kian meningkat signifikan di Kota Palu. Sejak masa darurat hingga masa transisi ini total lebih dari 50 (lima puluh) kasus kekerasan terjadi pada perempuan dan anak, termasuk kekerasan seksual. Mirisnya, kekerasan banyak terjadi pada ranah domestik seperti di tenda-tenda pengungsian, tidak terkecuali di huntara (hunian sementara). Fakta ini mestinya mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan baik Pemda sendiri maupun NGO yang memiliki kepentingan langsung dengan penyintas.
Berbagai testimoni yang dihimpun disimpulkan bahwa perempuan dan anak penyintas bencana di Kota Palu saat ini menjadi objek kekerasan laki-laki dengan peningkatan yang merosot tajam jika tidak segera dipulihkan. Ini berarti perempuan dan anak tengah dihantui berbagai perilaku kekerasan.
Sementara itu, menurut KH. Husen Muhammad bahwa yang melanggengkan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah faktor tradisi (patriarki). “kaum perempuan seakan diciptakan hanya untuk melayani laki-laki, menyusui dan mengasuh anak. Keyakinan ini seakan melenyapkan kodrat perempuan sebagai makhluk yang bereksistensi. Hak perempuan tidak boleh dikurangi sedikitpun, termasuk dihargai laki-laki dan dilindungi negara”, tegas KH. Husein saat mengisi kegiatan di Tanaris Coffee (31/03/2019). Kegiatan pada minggu sore tersebut bertema “Pelibatan Laki-Laki dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender”.
Ditempat dan waktu yang sama, Setda Propinsi Hidayat Lamakarate mengatakan bahwa solusi praktis dan paling tepat dalam mengurangi angka kekerasan ini adalah menciptakan ruang-ruang yang ramah terhadap perempuan dan anak. “huntara membutuhkan ruangan ataupun sekat yang ramah terhadap perempuan dan anak. Kami (Pemda) mendorong penyiapan ruang ramah perempuan dan anak. Kami harapkan persoalan (kekerasan) di tenda (pengungsian) terminimalisir”, ujar Hidayat.
Hidayat kemudian memastikan bahwa dukungan Pemda terhadap pengurangan angka kekerasan ini adalah komitmen untuk merancang model maupun program-program serta menginventarisasi permasalahan kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Untuk mendukung hal itu selaku Pemda ia berjanji memasukan penanganan kekerasan kedalam APBD Sulteng guna mendorong penciptaan ruang-ruang ramah perempuan dan anak.
Secara perspektif gender bahwa pencegahan maupun pengurangan tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Konsep ini memberikan landasan berpikir bahwa dalam mengatur kehidupan sosial, termasuk permasalahan kekerasan perempuan dan anak dibutuhkan kerjasama antara laki-laki dan perempuan. (Nutfa)