Palu (05-04-19). Sejak tahun 2014 warga Desa Lee Kecamatan Mori Atas Kebupaten Morowali Utara mulai terlibat konflik tenurial dengan PT. Sinergi Perkebunan Nasional (SPN) yang sebelumnya bernama PT. Perkebunan Nusantara (PN XIV) yang merupakan perusahaan dibawah naungan BUMN. Benih konflik sesungguhnya sudah tumbuh sejak terbitnya HGU nomor 20-HGU-BPN RI-2009 pada 27 januari 2009 seluas 1.895 ha, dimana 800 Ha didalamnya masuk dikawasan Desa Lee dengan peruntukan perkebunan sawit.
Kondisi di atas membuat warga Lee marah dan tidak terima. Mereka menganggap bahwa pemberian HGU terhadap PT. SPN tersebut merupakan klaim sepihak yang merugikan warga Lee dan desa lainnya seperti Desa Kasingoli dan Gontara. Tidak puas sampai disitu, pada 12 Desember 2014 lalu warga Lee melayangkan surat protes ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan maksud agar BPN selaku pemberi HGU mengeluarkan Desa Lee dari peta HGU perkebunan sawit milik PT. SPN. Sebab mereka menduga kuat bahwa dalam kasus perampasan dan alihfungsi lahan ini pihak BPN telah bekejasama dengan PT. SPN dalam proyek ekspansi sawit.
Apalagi, warga Lee bersikeras bahwa mereka tidak pernah melakukan serahterima lahan untuk perkebunan sawit kepada PT. SPN. Alasan utma bahwa HGU PT. SPN yang dikeluarkan BPN sejak 2009 itu, sesungguhnya tidak taat prosedur, ditambah lagi tidak melibatkan Pemdes dan petani lokal. Disisi lain, lahan HGU itu merupakan wilayah strategis meliputi lahan pertanian, lahan peternakan, pemakaman tua, sumber air bersih dan beberapa lahan pokok.
Hingga bulan april 2019 ini warga Lee masih melakukan upaya-upaya penuntutan hak kelola, termasuk menempuh jalur hukum dengan memasukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng yang turut mengawal kasus ini memberikan informasi terkait perkembangan kasus ini. Manajer Advokasi dan Perluasan Jaringan YMP, Kiki Rizki Amelia saat ditemui menyampaikan bahwa saat ini ada 4 (empat) dari warga Lee tengah melayangkan gugatan ke PTUN dan telah dalam proses sidang memberikan bukti kepemilikan lahan.
“Ada empat warga Lee yang hari ini akan sidang barang bukti yaitu atas nama Patmo Salarupa punya bukti pembayaran pajak sejak tahun 1949, Irlan Uwo memiliki bukti pembayaran pajak 1994, Toromey Koani terdaftar pajak sejak 1993, Maksi Galemba Balebu punya sertifikat tanah tahun 1994. Keempat ini melakukan gugatan ke PTUN dengan alat bukti demikian”, pungkasnya pada kamis (04/04/2019).
Sejauh ini YMP merupakan salah satu dari sekian NGO di Sulteng yang proaktif memberikan sikap dukungan terhadap upaya-upaya warga Desa Lee dalam menuntut haknya. Menurut Kiki bahwa YMP tetap konsisten mendukung perjuangan warga Lee dalam merebut kembali hak kepemilikan lahan karena wilayah itu merupakan wilayah kelola rakyat (WKR), sehingga diperlukan upaya pendampingan bahkan pemetaan wilayah konflik itu. Selian itu komitmen kerjasama dengan KPA Sulteng akan terus dilakukan guna menyusun aksi pemetaan, maupun perencanaan tata guna lahan warga Desa Lee. “YMP akan membantu melakukan olah data untuk bukti-bukti mereka, serta memfasilitasi data wilayah yang digugat untuk overlay ke wilayah HGU” Pungkas Kiki.
Kiki kembali menegaskan bahwa kini dan kedepannya YMP konsisten mendukung perjuangan warga Lee dalam mengusut tuntas kasus perampasan tanah oleh PT. SPN terhadap wilayah hak mereka. “Sikap YMP mendukung perjuangan orang Lee karena itu (lahan HGU PT. SPN) adalah wilayah kelola rakyat. Mendukung dengan cara mendampingi, membuat pemetaan wilayah, baik wilayah administratif desa maupun lahan-lahan masyarakat yang masuk di HGU. Dan merencanakan bersama dengan KPA yang mendampingi masyarakat Lee untuk membuat rencana tata guna lahan. Harapan kami data yang saat ini diolah YMP dapat menjadi bukti dipengadilan” ujar Kiki dengan nada tegas. (Nutfa)