Gempa,Tsunami dan Likuifaksi yang terjadi 28 September 2018 meluluh lantahkan segala aspek kehidupan di Kota Palu, Kab.Sigi dan Kab. Donggala. Selain menelan ribuan jiwa, melumpuhkan perekonomian, kejadian itu juga mengancam psikis dan modal sosial masyarakat, khususnya mereka yang terdampak pada kejadian itu.

Merenungkan dahsyatnya kejadian tersebut, kita dihadapkan pada rasa sakit di dada. Bagaimana tidak, dengan sekejap mata alam mengajari kita arti dari sebuah kata “kehilangan”. Kita mengalami kehilangan disegala lapisan kehidupan. Beruntung, Tuhan masih memberikan kesempatan bagi kita untuk memperbaiki cerita hitam dimasa lalu.
Bergeser dari renungan tersebut, ada terselip asa untuk bersama-sama bangkit melawan duka yang mendalam dan ketidak berdayaan. Seremuk-remuknya fisik, masih ada harapan untuk melanjutkan kehidupan dan keluar dari keputusasaan. Harapan inilah yang dimiliki Masyudi. Menurutnya Kesempatan hidup yang diberikan sang pencipta akan sangat berharga jika bisa bermanfaat bagi yang lain.
Masyudi merupakan ketua RW di desanya yang bertangung jawab mengawal setiap aktivitas pengungsian dan bantuan yang masuk ke Dusun Pangga Kelurahan Kabonga Besar. Banyak warga di wilayah itu yang kehilangan rumah. “ini tangung jawab yang sudah saharusnya saya lakukan, saya harus membantu mereka,” ungkapnya membatin.
Lelaki yang berusia 45 tahun ini adalah salah satu dari ribuan orang yang harus merelakan anak tercintanya kembali pada sang pencipta. Astiananta (15 tahun) merupakan anak keduanya yang merenggang nyawa dihempas dahsyatnya bencana Tsunami. Gelombang besar itu menerjang Kelurahan Kabonga Besar Kabupaten Donggala.
Sebelum terjadinya gempa dan tsunami, Siswa yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP N 1 Donggala itu sedang berada di mesjid. Seperti biasanya, usai mengaji dia akan melanjutkan dengan Shalat Magrib. Namun hari itu bencana datang. Gempa yang disusul tsunami menghantam pesisir pantai Kabonga besar dan sekitarnya hingga berujung pada ketidakberdayaannya bertahan hidup dalam musibah tsunami itu.
Masyudin gelisah karena dia tahu anaknya berada di masjid yang diterjang tsunami. Malam harinya ketika gempa sedikit reda dia mencari anaknya sepanjang malam. Namun hingga fajar menyingsing, dia belum menemukan anaknya. Diapun terus mencari, tepat pukul 09.00 ia menemukan anak tercintanya tergeletak kaku di pinggir pantai dekat lokasi perusahaan tambang pasir. sekitar 700 meter dari mesjid.
Matanya yang sedari malam mengawasi setiap sudut dan tumpukan material kian sembab, dia tak bisa menahan tangisnya ketika memandang wajah anaknya pucat dan basah. Dukapun menyelimuti keluarga Masyudin. “saya sangat menyesal karena tak bisa menolong anak saya ketika dia berusaha bertahan hidup. Namun apa daya semuanya telah ditetapkan oleh sang kuasa,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. Masih ada duka yang mendalam dihatinya.
Masyudin sangat terpukul atas kejadian itu, namun ia berusaha untuk ihlas atas apa yang terjadi. “keikhlasan menerima cobaan dan ujian dari sang Khalik sedikit meringankan kesedihan saya,” ucapnya. (Evan)