Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2013-2033 yang ditetapkan berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2013, saat ini memasuki tahap lima tahun pertama impelementasinya. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan bahwa rencana tata ruang dapat ditinjau kembali dan peninjauan kembali rencana tata ruang dapat menghasilkan rencana tata ruang yang ada dapat berlaku sesuai dengan masa berlakunya atau rencana tata ruang yang ada perlu direvisi.
Olehnya itu, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah tahun ini akan melakukan revisi RTRW Provinsi Sulawesi Tengah. Gubernur Sulteng melalui SK No. 650 Tahun 2018 telah menetapkan Tim Peninjauan Kembali (Tim PK) RTRW Provinsi yang beranggotakan sembilan institusi organisasi perangkat daerah di level provinsi (Bappeda; Dinas Bina Marga & Penataan Ruang; Dinas Kehutanan; Dinas ESDM; Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura; Dinas Perhubungan; Dinas Perumahan, Kawasan Pemukiman & Pertanahan; Dinas Cipta Karya & Sumber Daya Air; Badan Litbang & Inovasi Daerah; serta Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi) dan institusi penelitian serta akademisi dari perguruan tinggi.
Momentum pembentukan Tim PK RTRW Provinsi ini dapat dijadikan peluang untuk mendorong pencantuman / integrasi hutan adat yang memiliki aspek legal. Dalam konteks Sulawesi Tengah, ada dua hutan adat yang telah ditetapkan yakni : Pertama, Hutan Adat Wana Posangke di Kecamatan Bungku Utara Kabupaten Morowali Utara seluas 6.212 hektar, berdasarkan SK Menteri LHK No. 6743 Tahun 2016 tanggal 28 Desember 2016 dan; Kedua, Hutan Adat Marena di Kecamatan Kulawi Kabupaten Sigi seluas 756 hektar, berdasarkan SK Menteri LHK No. 1156 Tahun 2017 tertanggal 16 Maret 2017.
Salah satu pra syarat untuk integrasi hutan adat ke dalam RTRW Provinsi telah terpenuhi di mana pada tahun sebelumnya, Menteri LHK telah menerbitkan SK No. 517 Tahun 2017 Tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah Sampai Dengan Tahun 2016, pada tanggal 14 Februari 2017. Dimana keberadaan hutan adat khususnya Wana Posangke telah dicantumkan pada lampiran peta SK Menteri LHK tersebut.
Urgensi Integrasi Hutan Adat ke RTRW Provinsi
Maraknya konflik tenurial yang terjadi pada masyarakat adat khususnya di Sulteng terkait penetapan kawasan hutan oleh negara, menjadi kata kunci utama integrasi hutan adat ke RTRW Provinsi ini. Secara khusus, ada lima hal yang mendasari urgensi integrasi hutan adat ke dalam RTRW Provinsi ini,yakni :
Pertama : menghentikan kriminalisasi masyarakat adat yang mengelola dan memanfaatkan hasil hutan, baik kayu maupun bukan kayu. Dengan integrasi hutan adat ke dalam RTRW, masyarakat adat lebih leluasa melakukan aktifitas pengelolaan dan pemanfaatan hutannya tanpa kekhawatiran akan dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum atau petugas kehutanan;
Kedua : menghilangkan diskriminasi hukum. Masyarakat adat sebagai penyandang hak atau subjek hukum memiliki legal standing. Pegintegrasian hutan adat ini ke dalam RTRW Provinsi merupakan suatu penghormatan atas hak tradisional oleh negara sebagaimana amanah Konstitusi [UUD 1945 Pasal 18 huruf (9b)];
Ketiga : meralat regulasi terkait penetapan kawasan hutan terutama hutan konservasi (Cagar Alam dan Taman Nasional). Proses penetapan kawasan konservasi selama ini jarang bahkan tidak melibatkan masyarakat adat, sehingga terjadi tumpang tindih klaim antara masyarakat adat dengan negara. Olehnya itu, pencantuman hutan adat ke dalam RTRW Provinsi ini untuk menegaskan dan menjamin keberadaan hutan adat yang telah dikelola secara turun temurun oleh komunitas masyarakat adat;
Keempat : membuktikan bahwa masyarakat adat mampu mengelola dan memanfaatkan hutan adat. Pencantuman hutan adat ini ke dalam RTRW Provinsi juga dimaksudkan sebagai media edukasi ke publik bahwa terdapat hutan adat yang dikelola oleh komunitas masyarakat adat di Sulteng secara arif dan berkelanjutan.
Kelima : mengurangi ancaman deforestasi dan degradasi lingkungan. Kepastian hutan adat yang dicantumkan ke dalam RTRW Provinsi ini akan menekan laju deforestasi dan degradasi hutan oleh pelaku pembalakan dan atau industri ekstraktif yang merusak hutan dan lingkungan.
Tantangan Integrasi Hutan Adat ke RTRW Provinsi
Proses integrasi atau pencantuman hutan adat ke dalam RTRW Provinsi merupakan hal yang baru di Indonesia. Belum ada satu provinsi pun atau bahkan kabupaten/ kota yang melakukan proses integrasi tersebut ke dalam dokumen RTRW. Hal ini juga merupakan tantangan bagi para pihak khususnya pengambil kebijakan di level provinsi (baik eksekutif maupun legislatif) untuk melakukan terobosan sekaligus penghormatan keberadaan hak-hak tradisonal bagi masyarakat adat.
Ada beberapa tantangan ke depan yang segera diformulasikan jalan keluarnya, antara lain :
Pertama, pemenuhan data pendukung utamanya data spasial. Peta-peta berformat shapefile (SHP) untuk Peta Hutan Adat (Wana Posangke dan Marena) serta Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan No. 517/ 2017 sulit diakses oleh para pihak. Wali data peta-peta SHP tersebut yakni Kementerian LHK sepertinya belum rela memberikannya ke para pihak termasuk ke pemerintah provinsi, dengan berbagai alasan yang kurang logis di era keterbukaan informasi publik saat ini. Sehingga solusi pragmatisnya, tim teknis nantinya dapat mengolah kembali (digitasi) peta-peta berformat JPEG tersebut sesuai standarisasi perpetaan (geometris dan kartografis).
Kedua, belum ada konsensus terkait notifikasi atau simbolisasi hutan adat oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) seperti Kementerian LHK, Kementerian ATR dan Badan Informasi Geospasial (BIG). Kementerian LHK menggunakan pendekatan arsir pada areal hutan adat dan juga mewacanakan sistem pewarnaan khusus. Sedangkan Kementerian ATR mengusulkan sistem garis tebal dengan warna khusus. BIG sifatnya menunggu usulan dari K/L terkait simbolisasi hutan adat tersebut.
Ketiga, nomenklatur hutan adat dalam dokumen RTRW merupakan hal baru. Perlu diksusi mendalam para pihak untuk membuat terobosan baru terkait nomenklatur hutan adat ini dalam RTRW khususnya Struktur Ruang dan atau Pola Ruang. Apakah tepat hutan adat diposisikan pada aspek Pola Ruang yakni Kawasan Lindung atau Kawasan Budidaya, atau pada aspek Struktur Ruang?
Dengan melihat kesungguhan pemda khususnya OPD terkait yang diharapkan nantinya mendapat dukungan dari pimpinan dan anggota DPRD, proses integrasi hutan adat ke dalam RTRW Provinsi Sulawesi Tengah niscaya menjadi kenyataan. Rakyat akan bangga bahwa Sulawesi Tengah adalah provinsi pertama di republik ini menjadi percontohan untuk menghormati hak konstitusional masyarakat adat dalam bentuk integrasi hutan adat ke dalam RTRW. Semoga.
*) Penulis adalah Direktur YMP Sulteng dan
Presidum Dewan Kehutanan Nasional 2016-2021