Sekilas KHP Dampelas Tinombo
Kawasan ini ditetapkan sebagai wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 792/MENHUT-II/2009, pada tanggal 7 Desember 2009. Total luasan areal kerja mencapai 103.208,66 hektar. Didominasi oleh fungsi hutan produksi seluas 74.747,13 hektar, atau 74% dari luas kawasan. Dengan tujuan utama untuk fungsi produksi.
Secara geografis, kawasan ini membentang di dua wilayah administratif kabupaten. Di Kabupaten Donggala, meliputi Kecamatan Dampelas, Sojol dan Balaesang. Sedangkan, di Kabupaten Parigi Moutong, terdiri atas Kecamatan Tinombo dan Tinombo Selatan. Total penduduk yang berkaitan langsung dengan kawasan tersebut sebesar 72.294 jiwa.
Sejak kawasan ini ditetapkan, berbagai protes dan penolakan disampaikan oleh masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan. Misalnya, protes masyarakat di Desa Talaga Kecamatan Dampelas. Penolakan serupa juga muncul dari masyarakat di Desa Sipayo, Kecamatan Tinombo. Mereka menolak pemasangan tapal batas kawasan hutan yang tidak melibatkan masyarakat.
Sepengetahuan masyarakat, bahwa, pihak Kehutanan pernah datang melakukan inventarisasi hutan. Ternyata, kegiatan tersebut berselubung pemasangan pal batas hutan . Terbukti, di Desa Sipayo maupun Desa Talaga, pal-pal kawasan hutan muncul secara tiba-tiba dalam lahan pertanian masyarakat.
Dalam berbagai dokumen tentang KPH, disebutkan bahwa KPH Dampelas Tinombo akan dipersiapkan sebagai lokasi implementasi proyek REDD di level tapak. Oleh sebab itu, kehadiran KPH Dampelas Tinombo, tidak terlepas dari posisi Sulawesi Tengah sebagai salah satu provinsi percontohan REDD+.
Ujicoba tahap kesiapan REDD+ melalui dukungan UN-REDD Indonesia sejak tahun 2010, juga menjadikan KPH Dampelas Tinombo sebagai lokasi sasaran. Termasuk ujicoba konsep Free Prior and Informed Consent (FPIC) di Desa Talaga dan Lembah Mukti. Ketika ujicoba itu mendapat penentangan dari masyarakat setempat, pihak UN-REDD Indonesia bersama Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah meradang.
Ironi Kebohongan
Kebohongan sebagai wajah sejati pembangunan, kembali dipertontonkan oleh rezim pembangunan. Termasuk, dalam kehadiran KPH Dampelas Tinombo di Sulawesi Tengah. Untuk memuluskan seluruh proyek tanpa kendala, segala penghalang harus dilepaskan untuk mencapai tujuan pasar (Gilpin, 1987: 266). Tujuan pasar dan institusi ekonomi terkait KPH Dampelas Tinombo, ialah, memuluskan cita-cita pasar karbon, dengan mengusung semangat lestari. Melalui episode penurunan emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi hutan.
Memutus kendala politik, sosial dan ekonomi dalam sebuah rencana pembangunan, dapat dilakukan dengan beragam cara. Misalnya, yang terkait dengan KPH dan REDD+, konsep FPIC sebagai syarat yang diharuskan, justru gagasannya tidak dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat. Temuan dari Kelompok Kerja Pemantauan REDD Sulawesi Tengah, menyatakan, bahwa konsep FPIC di lokasi tapak seperti Desa Talaga, Lembah Mukti, Pakuli dan Simoro, justru ditentukan oleh keinginan pihak UN-REDD Indonesia.
Secara substansi, konsep FPIC yang dibangun di lokasi-lokasi tersebut, belum menyentuh kepentingan masyarakat setempat (Kleden dkk, 2012). Kekhawatiran ini, sudah disampaikan jauh sebelumnya oleh lembaga swadaya masyarakat. Bahwa, KPH sebagai embrio untuk tapak REDD+ di Sulawesi Tengah, dapat menimbulkan problem baru kehutanan (Sirajuddin dkk, 2011). Relasi antara pembagian pohon jabon di Desa Lembah Mukti, misalnya, dengan sosialisasi FPIC, justru berlangsung dalam waktu yang sama. Sehingga, tidak dapat dipisahkan, mana kegiatan KPH, mana pula kegiatan UN-REDD.
Kegagalan Prematur
Menurut Kepala Unit Pelaksan Tehnis (UPT) KPH Dampelas Tinombo, Ir.Agus Effendi, Msi, sejak tahun 2009 sampai 2012, pihaknya telah memperoleh anggaran sebesar 2 milyar dari APBN. Serta 5 milyar dari pos APBD Sulawesi Tengah. Besaran dana itu dipergunkan untuk berbagai aktivitas, seperti pengadaan perlengkapan kerja, dana operasional kantor, hingga survei potensi kawasan.
Namun, sejumlah aktivitas yang disebutkan dalam laporan bulan Mei 2012 itu, sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat sekitar kawasan. Bahkan, aktivitas inventarisasi potensi kawasan, dan penataan areal kerja (survei blok/petak), tidak diketahui oleh masyarakat setempat. Kalaupun kegiatan tersebut benar dilakasanakan, seharusnya melibatkan peran serta masyarakat setempat.
Seharusnya, inventarisasi potensi kawasan dilakukan untuk memetakan dan mendokumentasikan berbagai pola pemanfaatan ruang di dalamnya. Serta, untuk menemukan pihak mana saja yang berkaitan dengan klaim penguasaan dan kepimilikan tenurial. Khususnya, lahan-lahan masyarakat yang sudah dikelola secara turun temurun.
Hal itu untuk menghindari klaim sepihak atas batas-batas kawasan hutan oleh pihak KPH. Seperti yang terjadi di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, maupun di Desa Sipayo, Kecamatan Tinombo. Rencana-rencana awal KPH yang ingin menjadikan masyarakat sebagai bahagian dari pelaku kehutanan, faktanya, gagal prematur.
Sebab, bagaimanapun juga, kawasan KPH Dampelas Tinombo dihuni oleh kelompok-kelompok etnis lokal. Seperti Tajio, Lauje, Dampelas dan Pendau. Mereka ini, telah lama mendiami gugusan hutan dalam kawasan tersebut dengan pola pemanfaatan yang lestari. Terbukti, hingga hari ini, gugusan hutan yang dijadikan KPH tetap dapat berkesinambungan.
Sayang sekali, komitmen politik untuk pembaruan tata kelola kehutanan, tidak dibarengi oleh konsistensi sikap institusi. Mulai dari poros Kementrian Kehutanan di level pusat, Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah di level provinsi, hingga Kepala UPT KPH di level tapak.
(Azmi Sirajuddin)
Referensi:
1. Gilpin, Robert. 1987. The Issue of Dependency and Economic Development dalam The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press.
2. Kleden, Emil dkk. 2012. Laporan Evaluasi Rintisan FPIC di Sulawesi Tengah. Jakarta: UNREDD Programme Indonesai. Dapat diunduh di www.un-redd.or.id
3. Sirajuddin, Azmi dkk. 2011. Kami Inginkan Padiatapa dan Rambu Keselamatan. Jakarta: PUSAKA-POKJA PANTAU-YMP