Supardi Lasaming*
Menabur Harapan Pasca Penetapan Hutan Adat wana Posangke
“Tabe komi apa-apa, indo-indo tarima matao jela mogombo bae. Aku daman carita, kayau kami sei mesufu ue mataku. Masyarakat adat harus di perhatikan mafo rayaku, mampobubuka perjuangan apa tobose, pamarenta tapangkaroro. Bisa ree too, ree ana kumpu kita. Pangalaman perjuangan harus kita ceritakan re ana kumpu kita. Aku endo Apa Nte re’e kayorinya; Re’e gombonya pandaya tamo darata tana tau tua mami.
Seo si’i, sejarah bagi kami to wana Posangke. Dataendo kita puria se’i perjuangan. bayangkan kita se’i ta nalo’a tau ri kita dari pertama perjuangan ree beberapa masyarakat adat taa lolos, ri seluruh Indonesia kita anu pangale ada tabae-bae. Tapi tau tua lipu tau tua ku ne’e rapaka gamba tafa pura usaha, malagipa tantangan. kasapantas data ator. Si’i sa ta pantas da tapatialaka tau maya dapa tampilkan tau maroro ri pangale, sampria kebutuhan ri pangale, karena ada kita patokan Negara.
Ri Jakarta malagi tau lebih masiasi. Kita reeja banuata banua 4×5, kita rire monavu, apa-apa ada kita fimba caranya , Fali ane kita cerita masiasi sebenarnya kita tama siasi ojo hanya perlu rasa aman dan perhatian pamarenta”. (Apa Imel, Sumbol April 2017).
Narasi tutur dalam bahasa Wana ini diungkapkan oleh Sofian atau akrabnya disapa “Apa Imel”, ketika membuka pengantar mogombo bae (diskusi) di lipu Sumbol pada bulan April 2017 kemarin. Apa Imel adalah salah satu diantara dua orang perwakilan komunitas adat Wana Posangke yang hadir pada acara penyerahan SK penetapan Hutan Adat oleh Presiden Jokowidodo di Istana Negara pada Desember 2016. Narasi tutur ini sesungguhnya berisi pesan moral yang sangat dalam kepada tau boros, dan terasa ada keharuan tatkala mendengarnya;
“Permisi bapak-bapak, ibu-ibu, terimakasih atas kedatangannya pada diskusi besar ini. Saya sedikit hendak bercerita, tentang pengalaman ketika kami ke Jakarta. Sesungguhnya saya sangat terharu hingga mengeluarkan air mata, ketika mendengar masyarakat adat harus diperhatikan/diakui, hati saya terharu karena bisa diperjuangkan oleh orang besar, khususnya pemerintah kita.
Sesungguhnya pengalaman perjuangan kita ini harus diceritakan kepada anak kita, Saya teringat dengan kayorinya tua ada Apa Nte sama kami; dia katakan rasanya tidak mungkin akan didapat lagi tana adat orang tua kami. Namun hari ini sejarah bagi kita Wana Posangke. Kita haruslah mengingat semua tentang perjuangan ini. Bukan hanya saya dengan indo Ija, akan tetapi perjuangan kita semua. Bayangkan kita ini tidak pernah dilihat dan diperhatikan oleh orang kita sendiri.
Akan tetapi dari beberapa masyarakat adat yang berjuang ada yang tidak lolos, dan dari seluruh Indonesia kita punya usulan hutan adat yang paling luas. Tapi tau tua Lipu, orang tuaku kita janganlah sombong, perjungan kita belum selesai, masih banyak tantangan dan masih banyak yang mesti harus kita atur.
Apa yang sesungguhnya selama ini kita tidak pernah tunjukkan, kita harus tunjukkan bahwa kita adalah orang yang memang tinggal dan hidup di hutan, semua kebutuhan hidup kita dari hutan, dan karena adat kitalah yang jadi patokan negara sampe diloloskan.
Di Jakarta banyak orang yang lebih miskin dari kita. Mungkin kita miskin tapi masih bisa punya rumah dengan ukuran 4×5, kita masih punya kebun. Jadi kalaulah kita cerita kemiskinan, sesungguhnya kita tidaklah miskin tapi hanya perlu perhatian dan jaminan rasa aman dari pemerintah”.
Kegiatan Mogombo bae ini dilaksanakan di Banua Bae Lipu Sumbol untuk membicarakan langkah-langkah bersama yang harus dilakukan pasca penetapan hutan adat Wana Posangke berdasarkan SK.Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.No.6747/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016. Kegiatan ini difasilitasi oleh Amran Tambaru – Direktur Yayasan Merah Putih yang dihadiri oleh masyarakat adat Wana Posangke termasuk para Tau Tua Ada dan Tau Tua lipu.
Pada kesempatan itu, Amran Tambaru menguraikan bahwa; “pasca penetapan Hutan Adat Wana Posangke, ada kewajiban masyarakat yang melekat berdasarkan mandat Surat Keputusan tersebut, yaitu bagaimana tanah-tanah adat dan hutan adat ini dikelola secara lestari sesuai kearifan budaya masyarakat adat Taa Wana. Bagaimana tetap mempertahankan fungsi fungsi hutan adat itu agar tetap terjaga, bisa menjadi penahan erosi dan banjir, tidak ada kebakaran serta bisa menyediakan sumber pasokan air bersih. Selain itu, tidak ada upaya masyarakat untuk memperjualbelikan, sebab jika hal ini terjadi, bisa jadi Negara akan mencabut kembali SK tersebut”.
Lebih lanjut Amran Tambaru menguraikan bahwa; “Selain kewajiban juga ada hak yang melekat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat ini. Hak masyarakat adalah bagaimana bisa mengolah tanah dan memanfaatkan sesuai kebiasaan-kebiasan hukum adat berlaku, seperti; mengambl damar, gaharu, rotan, berladang bukan pada kemiringan untuk menghindari terjadinya longsor dan mengembangkan tanaman-tanaman produktif lainnya demi meningkatkan pendapatan ekonomi.
Harus dipahami pengakuan hutan adat ini sesungguhnya adalah wujud dari kehadiran negara dalam memberikan rasa aman bagi kelangsungan penghidupan masyarakat adat Wana Posangke. Tidak seperti dulu lagi jika mengambil pohon untuk ramuan rumah bisa jadi ditangkapi karena dianggap mengambil sesuatu dari kawasan hutan. Momentum pengakuan ini juga harapannya menghadirkan negara melalui peran pemerintah dalam memfasilitasi pemenuhan layanan hak dasar bagi masyarakat adat Wana Posangke seperti: hak kependudukan berupa KTP, kartu keluarga, layanan pendidikan dan kesehatan serta dukungan dalam upaya peningkatan produktivitas pendapatan agar dapat berdaya secara ekonomi kedepan”.
Sementara itu, Murni salah seorang pendamping lapangan Ymp yang selama ini intens berinteraksi dengan dalam memperjuangkan hutan adat bersama masyarakat adat Taa Wana Posangke, merasa bersyukur atas ditetapkannya Hutan Adat Wana Posangke. Menurut Murni; “Ketika negara telah mengakui dan menetapkan hutan adat Wana Posangke ini, bukan berarti perjuangan To Wana Posangke telah usai. Akan tetapi tentunya masyarakat punya mimpi dan harapan-harapan untuk mengelola dan memanfaatkannya seperti sediakala, sesuai kearifan tata guna lahan to Wana posangke. Namun demikian tentu dalam pengelolaan dan pemanfaatanya akan banyak menghadapi tantangan, baik datangnya dari komunitas sendiri maupun datangnya dari luar komunitas.
Bisa jadi ada yang menawarkan menjual tanah, menawarkan untuk bangun ini dan bangun itu tapi bukan untuk kepentingan masyarakat adat. Jadi jika ada yang tidak tahan dengan godaan, maka apa yang dimiliki bisa hilang. Manakala itu terjadi, maka orang itu sama halnya telah menggadaikan dan menjual tana adat atau tana tau tua mami. Dan ini tentu saja bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai dan adat leluhur.
Jadi sesungguhnya hutan adat yang dimiliki saat ini haruslah di bentengi oleh masyarakat adat sendiri bersama tau tua ada, tau tua lipu dan tau boros dengan cara menegakkan dan memberlakukan hukum adat dengan sanksi givu bagi yang melanggar”.
Adanya pengakuan hutan adat tersebut diharapkan dapat menjamin rasa aman ruang hidup masyarakat hukum adat serta pelestarian ekosistem hutan dan lingkungannya. Pengakuan hutan adat ini juga haruslah menjadi salah satu wahana pembelajaran terkait penyelesaian konflik antara negara dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan. Hal lainnya terkait pengakuan ini adalah jalan bagi masyarakat adat dalam upaya perbaikan kualitas penghidupannya agar lebih berdaya secara ekonomi.
*Penulis adalah Manajer Kantor Lapangan Morowali Utara dan PO Skola Lipu