Aku sedikit terusik ketika seorang kawan pengkampanye internasional tentang kerusakan lingkungan menyebutkan kalimat, “no mining, yes to life” ketika bertemu dalam suatu diskusi lepas. Arti sederhana kalimat itu adalah tidak untuk pertambangan, ya untuk hidup. Ia lalu mengisahkan aktivitas tambang yang sangat merusak bagi lingkungan dan berdampak buruk bagi kehidupan manusia di sekitarnya. “Tidak ada pertambangan yang tidak merusak,” katanya lagi mempertegas.
Di Sulawesi Tengah, aku dan kawan-kawan selalu mengatakan “tidak” pada pertambangan skala besar para investor tambang. Selain karena alasan daya rusak yang luar biasa, penguasaan sumber daya alam juga tidak mempertimbangkan masyarakat yang hidup di wilayah lingkar tambang tersebut. Lalu, bagaimana dengan aktivitas pertambangan rakyat. Aku lalu coba membayangkan daerah tempat tinggalku yang hanya sekitar 7 km dari lokasi pertambangan rakyat yang ramai setahun belakangan ini.
‘Surga yang akan menguap?’
Emas, kilaunya yang terang membuat siapa saja tergiur hingga abai terhadap hal yang jauh lebih berharga dari itu. Emas Poboya lalu menjadi kebanggaan warga Poboya. Setahun belakangan, mereka yang kini menjadi penambang emas, merasa diuntungkan dari kegiatan yang mereka lakukan. Pemerintah tidak sepenuhnya membenarkan, karena areal penambangan mereka adalah wilayah konsesi PT.CPM, yang 2007 lalu telah dimilki PT. BUMI.
Sebelumnya telah diingatkan agar warga Poboya berhati-hati dengan kegiatan penambangan yang dilakukan, bahkan disarankan agar dilaku-kan penghentian sementara, selagi solusi alternatif yang bijak sedang diupayakan. Pemerintah terlihat tidak tegas berada di dua kaki, pertam-bangan skala besar PT CPM mau, pertambangan skala kecil juga ingin.
Godaan emas memang sulit dihindari. Walhasil, kegiatan penam-bangan justru makin marak bersama kehadiran orang-orang dari luar Palu, bahkan luar Sulawesi Tengah. Penggunaan Mercury pun semakin bebas, sulit dikontrol bersama naiknya jumlah tromol yang beroperasi memisahkan bijih emas dari batuan.
Celakanya, pemilik utama usaha Tromol justru masyarakat dari luar bukan warga asli Poboya. Pada umumnya tromol dimiliki cukong yang memiliki modal besar. Warga Poboya sendiri hanya menjadi buruh atau pengawas pada tromol-tromol tersebut. Mereka mendapatkan komisi sejumlah tertentu berdasarkan perjanjian bisnis informal dengan pemilik tromol.
Hasil investigasi Walhi Sulawesi Tengah per Desember 2009, menggambarkan fakta yang ironis. Dari sekitar 9600 tromol yang aktif saat ini, hanya 2 persen usaha tromol dimiliki warga Poboya. Sisanya, sekitar 37 persen dimiliki warga Kota Palu, dan persentase terbesar adalah warga luar Kota Palu, yakni 61 persen.
Pengolahan emas dengan teknologi tromol tak bisa dilepaskan de-ngan bahan kimia berbahaya. Belakangan diketahui peredaran merkuri dan sianida di Poboya sudah tak terkendali. Jika satu unit tromol me-nggunakan merkuri (Hg) minimal 0,80 kilogram, maka bisa dibayangkan besaran volume merkuri yang digunakan oleh 9600 tromol selama 24 jam.
Uji sampel air Sungai Poboya yang dilakukan oleh Bapedalda Kota Palu pada Agustus 2009 lalu, menjawab pertanyaan tersebut. Dari hasil uji sampel, kandungan mercury sungai Poboya sebesar 0,05 part per million (ppm). Sebuah angka yang jauh melebihi ambang batas toleransi, yakni 0,01 ppm atau sekitar 0,003 mg/liter.
Hal ini tentu berbahaya mengingat syarat aman konsumsi manusia sebesar 0,002 mg/liter. Kita sudah cukup trauma dengan tragedi yang terjadi di teluk Buyat, dimana banyak warga yang keracunan merkuri dan sianida.
Awal April 2010, Direktorat Narkoba Polda Sulteng meringkus salah seorang warga asal Sulawesi Selatan yang kedapatan membawa satu drum sianida seberat 50kg tanpa izin. Sekedar diketahui, sianida adalah zat kimia yang lebih berbahaya dari merkuri. Manusia atau hewan bisa meregang nyawa seketika, jika meminumnya.
Sejauh ini belum ada penjelasan lebih lanjut mengapa zat kimia itu bisa beredar bebas. Sementara satu-satunya perusahaan yang mendapat izin mengimpor/memperdagangkan merkuri dan sianida di Indonesia adalah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia.
Perlahan kilau emas Poboya semakin membawa banyak masalah. Belum selesai memetakan siapa yang paling untung dari aktivitas tersebut, muncul lagi persoalan zat kimia beracun yang bisa mencemari sumber air bersih.
Dan yang lebih nyata terjadi di depan kita. Satu persatu korban jiwa berjatuhan akibat longsoran batu atau kehabisan oksigen. Tingkat kejahatan pun mulai meningkat di lokasi tambang. Apakah ini pertanda surga itu mulai menguap.
Poboya Menular Sampai Jauh…
Entah bermula dari mana tepatnya, namun sejumlah wilayah di Su-lawesi Tengah yang teridentifikasi memiliki potensi emas mulai menjadi incaran para cukong tambang seperti yang beroperasi di Poboya. Beberapa di antaranya terjadi di Kabupaten Donggala, Sigi, Parigi Moutong, Tojo Una-una hingga Banggai.
Di desa Parigi Mpuu kecamtaan Parigi Barat, lokasi pertambangan rakyat berada sekitar 100 meter lebih tinggi dari lokasi pembangunan PDAM dan hanya berjarak kurang lebih 90 meter dari bibir sungai. Berbeda dengan Poboya, masyarakat di lokasi ini mencari emas menggunakan mesin alkon untuk menyedot batuan di pinggiran sungai sehingga terjadi pendangkalan di sekitar sungai.
Dataran Bulang yang berada di Kecamatan Ampana Tete Kabupaten Tojo Una-Una, awal tahun 2010 ini juga ramai dengan para penambang emas, yang datang dari berbagai penjuru. Tak cukup sampai di situ, Kabupaten Banggai yang berada di ujung timur pulau Sulawesi pun tak mengalami hal yang sama.
Data media lokal menyebutkan, penambang dadakan dari luar Banggai sudah mencapai angka 8000 orang (Luwuk Post, 15/01/2010). Pemerintah kabupaten Banggaipun kewalahan menerima keluhan dari penduduk di sekitar lokasi penambangan.
Lahan mukim dan pertanian mereka menjadi sasaran penambang, potensi konflik pun mulai bermunculan. Seperti halnya di Poboya, sebagian besar pendatang berasal dari eks lokasi Tambang Sumbawa, Gorontalo, serta Bombana.
Apa Pilihan Bijaknya?
Sangat tidak bijak jika berbagai pihak kemudian menyepelekan ancaman kerusakan lingkungan dan potensi bencana akibat pengerukan Sumber Daya Alam yang tak terkendali. Kepentingan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menguras sumber daya alam yang ada sekalipun harus mengeruk kandungan mineral di perut bumi.
Pertumbuhan ekonomi yang dipacu sangat cepat, telah mengabaikan masa depan anak cucu. Sama halnya dengan kegiatan membabat hutan. Bila dilakukan terus menerus tanpa usaha yang cukup untuk menghijaukannya lagi, tanpa sadar kita dengan cepat telah mempersempit pertumbuhan ekonomi.
Kepentingan ekonomi memang bisa membuat siapapun terlena walau dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Namun jika kondisinya seperti ini, pilihannya hanya ada dua. Membiarkan pengrusakan terus terjadi atau menjadikan upaya penye-lamatan lingkungan sebagai nilai tambah bagi kehidupan yang berkelanjutan.
Apakah dengan mengatakan tidak untuk tambang atau tambang masih boleh asalkan dikelola oleh rakyat. Itupun masih pilihan, dan yang pasti semua pilihan ada konsekuensinya. Pada akhirnya, semoga produksi emas tidak lagi semata-mata di jalankan demi keuntungan, tapi demi kegunaan.