Oleh : Supardi Lasaming*
Pada dekade ini, berbagai riset menunjukan bahwa akibat peningkatan Gas Rumah Kaca (GRK) suhu rata-rata permukaan bumi telah mengalami kenaikan sampai pada level yang mengkhawatirkan. Kenaikan panas bumi telah mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang menimbulkan berbagai dampak negatif bagi keberlangsungan pengidupan makhluk bumi.
Untuk mengatasi peningkatan GRK, perundingan perubahan iklim melirik hutan sebagai salah satu solusi untuk menyerap dan menyimpan karbon yang signifikan melalui skema REDD plus (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation). Karena itu, Indonesia sebagai negara ketiga yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dengan luas 133,6 juta Ha, memiliki posisi strategis dalam perundingan ini.
Indonesia juga telah membuat komitmen sukarela untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% dari business as usual (BAU) dengan upaya sendiri pada tahun 2020, dimana 13,3% dipangkas dari sektor kehutanan. Di sisi lain, kebijakan dalam negeri pun dipacu untuk mendukung posisi Indonesia sebagai tuan rumah REDD. Apalagi, aktivitas deforestasi dan pembukaan lahan gambut telah menempatkan posisi Indonesia sebagai salah satu pelepas emisi terbesar di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung upaya nasional mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, selain mengubah kebijakan, berbagai proyek percontohan didorong agar Indonesia siap menjalankan skema ini secara utuh. Salah satu di antara proyek tersebut adalah UN-REDD.
Saat ini menguat Gagasan Proyek UN-REDD (United Nation on Reduction Emmision from Deforestation and Degradation) merupakan program kolaborasi badan-badan PBB (FAO, UNEP dan UNDP) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi lahan. Program ini mendukung negara-negara berkembang untuk membangun kapasitas, membantu merancang strategi nasional, menguji pendekatan nasional dan perencanaan kelembagaan dalam skema REDD agar siap terlibat pada masa mendatang. Indonesia menjadi lokasi pilot proyek UN-REDD, dengan dukungan pendanaan dari pemerintah Norwegia.
Salah satu tujuan proyek UN-REDD di Indonesia adalah peningkatan kapasitas implementasi REDD di tingkat lokal, dalam hal; (a) kapasitas perencanaan ruang, sosial dan ekonomi tingkat kabupaten yang terintegrasi dengan REDD; (b) pemberdayaan stakeholder lokal untuk dapat manfaat dari REDD; (c) penyusunan rencana kabupaten untuk implementasi REDD melibatkan para pihak.
Pada perkembangannya, Pemerintah Indonesia memilih propinsi Sulawesi Tengah sebagai salah satu Demontration Activity (DA) program UN-REDD, karena dipandang memenuhi kriteria sebagai berikut; (a) masih tersedia tutupan hutan secara sigfikan, (b) densitas karbon relatif tinggi, (c) dukungan politik lokal tinggi, (d) kapasitas lokal relatif tinggi untuk memberikan hasil dalam waktu cepat, (e) rentan terhadap kerusakan hutan, (f) sebagai lokasi yang berbeda dari inisiatif lain. Program UN-REDD ini di launching pada Tgl.13 Oktober 2010 oleh Bapenas melalui Bapeda Propinsi Sulawesi Tengah.
Melihat tujuan program UN-REDD di Indonesia, tentunya akan menjadi tantangan bagi pemerintah daerah di Sulawesi Tengah dari level propinsi hingga kabupaten sebagai target lokasi pengembangan Demonstration Activity (DA), sebab upaya penguarangan deforestasi dan degradasi hutan menuntut adanya suatu sentuhan pembangunan yang integratif dalam mengerem orientasi praktek exploitatif dalam pengelolaan Sumber Daya Alam yang selama ini menjadi ambisi bagi setiap pemerintahan di daerah dalam mendongkrak PAD.
Propinsi Sulawesi Tengah, yang memiliki luasan kawasan hutan berdasarkan data statistik Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2007, seluas 4.394.932 ha atau sekitar 65 % dari 6.803.300 ha dari total luas wilayah daratan Sulawesi Tengah, pada kenyataanya belum terinventarisir secara baik yang ditunjukkan dengan adanya perubahan rencana revisi tata ruang wilayah, dengan pengurangan luasan kawasan hutan sebesar 12,67 persen atau sekitar 3, 561,628 hektar.
Menurut data yang dimiliki Kehutanan Sulteng. Hutan Alam yang dulunya seluas 676,248 hektar, kini berkurang menjadi 531,906 hektar, Hutan Lindung yang dulunya seluas 1, 489,923 hektar berubah menjadi 1, 243,650 hektar. Selain itu, Hutan Produksi terbatas juga mengalami perubahan dari yang sebelumnya seluas 1, 476,316 hektar kini menjadi 1, 349,640 hektar. Demikian pula dengan HUtan Produksi kini menjadi 273-986 hektar, padahal dulunya seluas 500,589 hektar. Sementara Hutan Produksi Konversi berubah menjadi 162,446 hektar dari yang dulunya seluas 251-865 hektar.
Selain belum finalnya tata ruang wilayah, tantangan lain adalah efektifitas implementasi REDD dalam mengerem kondisi hutan Sulawesi Tengah yang telah mengalami deforestrasi yang cukup significant. Fakta tersebut dapat dilihat dari hasil perhitungan deforestasi tahun 2008 Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Badan Planologi Kehutanan:
Peningkatan deforestrasi tersebut tentu saja di sebabkan oleh: konversi hutan untuk kepentingan perusahaan dibidang kehutanan yang salah urus, seperti: IUPHHK, konversi hutan untuk kepentingan perkebunan sawit, konversi hutan untuk kepentingan pertambangan, konversi hutan untuk kepentingan pemukiman transmigrasi dan expliotasi hutan melalui parketk illegal logging yang sulit dikendalikan oleh pemerintah selama ini.
Pada sisi lain, implementasi REDD juga diuji untuk memposisikan eksistensi masyarakat Sulawesi Tengah yang secara dominan berdasarkan lokasi mukimnya, hidup di dalam dan disekitar kawasan hutan. Merujuk hasil pencocokan Departemen Kehutanan jumlah desa yang berada di dalam dan tepi kawasan hutan adalah 57 % atau 962 desa (58 desa di dalam kawasan dan 666 desa di tepi kawasan). Jumlah ini tentu saja sangat signifikan dan tidak dapat diabaikan. Identifikasi Desa di dalam dan Sekitar Kawasan Hutan, Kerjasama Dephut dengan BPS, Jakarta, 2009 mencatat bahwa Propinsi Sulawesi Tengah merupakan provinsi yang paling banyak memiliki wilayah di tepian hutan. Luas wilayah ini mencapai 3.209.147 Ha. Dari segi kependudukan, tercatat 33 % penduduk Sulawesi Tengah bermukim di dalam dan sekitar kawasan hutan, atau terbanyak ke-dua setelah Propinsi Papua. Selama ini, eksistensi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan kerapakali dikriminalisasi sebagai pelaku utama deforestrasi. Meskipun pada kenyataanya mereka mampu membuktikan bahwa melalui kearifan tradisional yang diwariskan secara turun temurun, hutan tetap dijaga secara lestari seperti yang dipraktekkan oleh Orang Katu, Orang Toro, Orang Marena, Orang Pekurehua, Orang Pakawa yang berhimpitan dengan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan Orang Wana yang bersentuhan dengan kawasan Cagar Alam Morowali.
Pada kesimpulannya, eksistensi masyarakat yang hidup disekitar dan didalam kawasan hutan juga kerap dibenturkan dengan dimensi konflik dalam hubungan pengelolaan hutan. Dimensi konflik tersebut motifnya antara lain:
Pertama, konflik yang diakibatkan adanya kepentingan konversi hutan dalam hubungan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang mengabaikan kepentingan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Kedua, konflik yang diakibatkan adanya kepentingan konservasi hutan dalam hubungan pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang mengabaikan kepentingan masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pada kondisi tersebut umumnya memposisikan masyarakat sebagai subjek hukum yang tidak aman karena lemahnya kepastian pengakuan Negara atas hak bagi masyarakat yang hidup di dalam dan disekitar hutan. Kenyataan menunjukkan hingga sekarang belum ada suatu bentuk pengakuan secara jelas atas wilayah kelola masyarakat hukum adat di Sulawesi Tengah. Masalah inilah yang dikhawatirkan dalam hubungan skema implementasi REDD di Sulawesi Tengah kedepan. Selain itu, implementasi REDD juga akan diuji untuk dapat terintegrasi dalam Perencanaan tata ruang, sebagai suatu keharusan dalam Penataan Ruang wilayah dan perubahan orientasi pembangunan yang selama ini cenderung lebih exploitatif dalam pengelolaan Sumber Daya Alam pasca bergulirnya kebijakan Otonomi Daerah.
*Penulis Adalah adalah Koordinator Kelompok Kerja Pematauan program REDD Sulawesi Tengah dan Staff divisi Advokasi dan Riset Yayasan Merah Putih.