TEMPO.CO, Jakarta. Perempuan adat Marga Ogoney dan Marga Masakoda di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, dikatakan Ketua Perkumpulan Panah Papua Sulfianto Alias, saat ini merasa termarjinalkan. Hal ini dikarenakan wilayahnya belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Hutan Adat. Hal inilah yang menurutnya menghambat pemberdayaan ekonomi di wilayah tersebut.
“Ada satu komoditas di wilayah Marga Ogoney dan Marga Masakoda yang sedang kita dorong karena kualitasnya luar biasa yaitu Nanas. Buahnya besar, manis kalau dikembangkan prospek sekali. Namun, karena tidak punya legalitas sebagai Hutan Adat, maka budidaya ini menjadi terhambat,” kata Sulfianto, baru-baru ini.
Tidak adanya legalitas Hutan Adat menjadikan kedua marga ini minim mendapatkan pelatihan maupun bantuan bibit dari pemerintah. Dikarenakan hutan yang mereka kelola masih berstatus Hutan Negara. Apalagi, komoditas ini harus bersaing dengan buah dari Pulau Jawa dan Sayur dari Manado. “Oleh karena itu kami sangat butuh SK tersebut apalagi semua persyaratan sudah lengkap, termasuk persyaratan Perda,” kata Sulfianto.
Dia pun heran, Papua sebagai daerah yang memiliki Otonomi Khusus, malah sulit untuk mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat meskipun semua persyaratan sudah terpenuhi. Dia menduga pemerintah enggan mengeluarkan SK dikarenakan hal politis. “Pemerintah harus lihat Papua ini lebih serius jangan sampai Papua merasa terdikriminasi akibat tidak ada pengelolaan hutan adat. Mentang-mentang jauh kita lalu ditinggalkan,” kata Sulfianto.
Daerah yang memiliki Otonomi Khusus lainnya yaitu Aceh ternyata mengalami hal yang sama. Wilayah ini belum satupun memperoleh SK Penetapan Hutan Adat. “SK yang dikeluarkan baru SK Indikatif Hutan Adat,” kata Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Zulfikar Arma.
Alasannya, kata Zulfikar, terdapat masalah soal batas administrasi antar kabupaten. Pemerintah menggunakan data Tata Ruang Kabupaten sementara pusat menggunakan data Badan Pusat Statistik. “Dalam aturan tidak dijelaskan menggunakan aturan yang mana,” kata dia. Kedua, sebagian kawasan hutan tidak dimasukan dalam usulan.
Zulfikar pun menyayangkan karena tidak adanya SK Penetapan Hutan Adat itu, masyarakat tidak bisa memberlakukan penegakan aturan adat di dalam wilayah, karena secara legal formal masih merupakan kawasan hutan negara. “Kekuatan mereka lemah di dalam penegakan hukum adat,” kata dia.
Selain sulit mendapatkan akses program-program pemerintah seperti mendapatkan bibit, SK Penetapan Hutan Adat itu juga dibutuhkan untuk antisipasi konflik gajah di Pidie. “Mereka tidak bisa melakukan penegakan adat ketika orang luar melakukan perambahan. Mereka hanya melaporkan, kalau dilakukan penindakan oleh oknum, pelaku bakal bebas juga. Jadi kekuatan nya lemah,” kata Zulfikar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Merah Putih Amran Tambaru mengatakan sejak Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membacakan keputusan dari Judicial Review terhadap UU 41/1999 tentang Kehutanan pada 16 Juni 2013, Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara, terdapat beberapa kali perubahan peraturan mentri.
“Setelah UU Cipta Kerja ada lagi Permen yang baru lagi. Tantangan di situ, buat teman-teman pendamping masyarakat adat. Satu masalah regulasi kedua membuat kesiapan teman-teman termasuk pemda untuk mengikuti irama orang pusat. Hal itu membuat birokrasi usulan cukup lambat, cukup lama direspon,” kata dia.
Dia bersyukur, beberapa Hutan Adat sudah diberikan SK. Saat ini sudah ada enam hutan adat di Sulawesi Tengah yang diberikan SK Penetapan Hutan Adat. “Hutan Adat Wana Posangke, Marena, Ngata Nto Lindu, Ngata toro, Moa, dan Masewo.”
Menurutnya, meskipun sudah mendapatkan SK, namun masih saja ada oknum yang memasuki wilayah Hutan Adat untuk keperluan investasi. Beberapa waktu lalu di wilayah hutan adat Wana Posangke sempat dimasuki para surveyor untuk tambang nikel. “Beruntung masyarakat adat mulai sadar haknya. Mereka pun menegur para surveyor itu dan mengatakan itu adalah wilayah yang dilindungi.”
Amran mengatakan, diperlukan satu dokumen Tata Ruang Provinsi yang memasukkan wilayah Hutan Adat dalam dokumen itu. Hal itu penting, agar dokumen Tata Ruang itu menjadi acuan untuk berinvestasi. Wilayah mana saja yang bisa untuk investasi, dan wilayah mana yang tidak.
Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia (HuMa) Agung Wibowo mengatakan, selama ini Perda memang menjadi masalah besar bagi penetapan Hutan adat. Satu Perda, kata dia, kajiannya bisa sampai Rp 2 miliar. “Belum lagi secara politik, lobi DPRD, studi banding, menurut saya itu semua tidak masuk akal,” kata dia.
Oleh karena itu HuMa Mendukung penghapusan syarat keberadaan Masyarakat Hukum Adat. “Salah satu penghapusan syarat keberadaan Masyarakat Hukum Adat adalah dengan mensahkan RUU Masyarakat Hukum Adat. Secara konstitusi, Negara sudah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, tinggal bagaimana menetapkan masyarakat hukum adat yang prosesnya tidak rumit dan terjangkau”.
HuMa pun berinisiatif untuk mendorong SK pencadangan hutan adat yang kemudian pemerintah meresponnya dengan membuat Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat. Peta tersebut, kata dia, masih belum diclustering sehingga wilayah-wilayah yang masih menunggu mendapatkan SK Penetapan Hutan Adat masih belum mengetahui apa kekurangannya sehingga mereka pun tidak mengerti apa yang harus dibenahi. HuMa pun meminta untuk mempercepat RUU masyarakat Hukum Adat. Dia pun meminta dukungan pegiat HAM, pegiat Perempuan, dan lainnya untuk mendukung percepatan itu.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Bambang Supriyanto menuturkan memang terjadi kendala dalam distribusi SK Penetapan Hutan Adat. “Ada usulan yang masuk ke kita 1,8 juta hektare. Tapi proposal, subyeknya yaitu by name by address, kelengkapan KTP, KK tidak lengkap, sehingga kita kembalikan. Selain itu, pada umumnya kualitas proposal masih perlu pendampingan. Terdapat juga objek yang kita kembalikan masih adanya konflik, sehingga masih perlu difasilitasi,” tutur dia.
Selain proposal subyeknya belum memenuhi dan objeknya terdapat konflik, ada juga usulan adat. Hutan adat persyaratannya dilihat melalui UU No.41 tahun 1999 pasal 67 bahwa untuk penetapan hutan adat itu diperlukan pengakuan masyarakat hukum adatnya yang ditetapkan melalui Perda.“Yang menjadi kendala kita, Perdanya itu banyak yang belum ada,” kata dia.
“Jadi hingga saat ini, kita baru menetapkan 69 komunitas adat yang sudah ditetapkan dengan kurang lebih 80 ribu hektar. Tetapi di dalam Permen LHK 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Kehutanan Sosial, dan PP Nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan itu untuk menjebatani permasalahan tersebut, ada yang kita sebut WILHA.”
Wilayah Indikatif Hutan Adat (WILHA) itu, kata Bambang, yang menjadi solusi sambil menunggu Perda. WILHA bisa digunakan sehingga masyarakat adat bisa beraktivitas dengan hukum adatnya, local wisdomnya. “Semua di SK kan, baik WILHA maupun Pencadangan. Hanya syarat administrasi menurut UU nya Perda, maka saya tidak berani melawan UU,” kata dia.
Menurut Bambang adanya peta indikatif areal perhutanan sosial revisi ke-7 tanggal 31 desember 2021 dengan jumlah untuk perhutanan sosial itu 14,6 juta ha. Secara politik, ibu menteri telah melampaui target, dari sebelumnya 12,7 juta hektare dicadangkan menjadi 14,6 juta ha. Sementara distribusi baru 5.004 juta hektare. “Pencadangan itu ada SK nya juga,” kata dia.
Adanya WILHA dan Pencadangan itu, menurut Bambang sudah merupakan kebijakan yang pro keadilan. Ditambah lagi, Presiden memerintah untuk membuat Peraturan Presiden (Perpres) Perencanaan Terpadu Percepatan Perhutanan Sosial. Yang bertujuan untuk mempercepat distribusi SK Penetapan Hutan Adat. “Perintah untuk menggarap Perpres itu 27 April 2022 dan perintahnya 2 minggu setelah SK itu harus dimulai pembahasan, dan Alhamdulillah sekarang hampir selesai,” kata dia. Ditargetkan Juli 2022, Perpres itu selesai.
Dalam Perpres itu, lanjut Bambang, akan menerapkan Pangan Agro Forestry. Bahwa kalau itu di kawasan hutan, ekologinya harus terjamin. Bisa saja jagung ditanam di antara pohon, dll. Program bantuan bibit, pupuk bersubsidi yang sebelumnya tidak bisa masuk ke kawasan hutan, nanti terurai melalui Perpres itu. Begitu juga dengan pakan ternak.
Perpres itu juga akan mengurai peran Bupati. “Kebutuhan yang pertama, masalah UU no 23 tahun 2014 bahwa kewenangan hutan produksi di gubernur, konservasi di pusat, sementara tata letak/lokasi kehutanan sosial ada di kabupaten, kecamatan dan di desa. Bagaimana peran kabupaten, Perpres itu nanti akan mengurai kebuntuan itu menjadi the bottle neckingnya. Kita urai di situ bahwa benar ada kewenangan gubernur dan pusat, tetapi bupati punya kewenangan pemberdayaan masyarakat. Sehingga distribusi aksesnya bupati harus terlibat.”(*)
Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1603060/perda-hambat-penetapan-hutan-adat-perpres-segera-dibuat