SILO 16 “KRITIK ATAS TATA KELOLA AIR DI KOTA PALU”

Air merupakan energi yang paling pokok bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya. Diperkirakan, 70 persen dari permukaan bumi terdiri atas air yang mencapai 1,4 juta kubik jumlahnya. Dari jumlah tersebut, berkisar 97 persen sumber air berasal dari lautan sementara sisanya dari sumber air lainnya seperti danau, sungai, rawa dan air pegunungan. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup, hingga saat ini diperkirakan tiga persen dari potensi sumber daya air tersebut yang maksimal dikelola umat manusia dan makhluk hidup lainnya.

Sebagai salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, jaminan atas ketersedian air merupakan hal utama. Berdasar data World Health Organization (WHO) tahun 2005, diperkirkan lonjakan penduduk dunia telah mencapai 5 miliar jiwa. Diantaranya, berkisar 2,2 miliar orang yang rentan dari krisis energi air dan sebanyak 1,5 miliar orang yang sama sekali tidak punya akses atas sumber daya air. Artinya, hampir separuh dari penduduk dunia saat ini, berpotensi kehilangan akses atas sumber ketersediaan air, bahkan sepertiga dari itu tergolong nir-akses atas sumber-sumber ketersediaan air.

Sementara untuk Indonesia, laporan Human Development Index dari UNDP tahun 2004 menunjukkan gejala peningkatan rasio penduduk yang kesulitan akses atas ketersediaan sumber air. Dari 32 propinsi ketika itu, 24 diantaranya memiliki problema energi air bagi penduduknya. Sulawesi Tengah sekalipun memiliki banyak sumber energi air juga tetap termasuk sebagai wilayah yang terancam mengalami krisis energi air bagi penduduknya akibat buruknya tata kelola air dan menjamurnya kegiatan pertambangan sirtukil di daerah aliran sungai.

Terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air, yang muatannya lebih cenderung mensifatkan air sebagai komoditi dagangan, menuai kritik dari berbagai kalangan. Tidak terkecuali lembaga internasional selevel UNDP yang menilai keberadaan aturan tersebut dapat menghalangi akses masyarakat atas ketersediaan sumber daya air. Kekhawatiran UNDP mungkin mewakili asa penduduk bumi yang benar-benar terancam oleh kemungkinan krisis air beberapa tahun mendatang. Selain disebabkan faktor perubahan ekologis akibat ulah manusia, krisis air juga dipicu regulasi tentang pengelolaan air di setiap negara yang mengasumsikan air sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan.

Lihat Juga

‘People of the forest’: Indigenous Indonesians stake claim to land

‘People of the forest’: Indigenous Indonesians stake claim to land, demikian judul laporan Peter Yeung ...

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *