Komunitas Tau Taa Wana merupakan kelompok masyarakat adat (indigenous people) yang secara de facto telah lama hadir di tengah masyarakat Indonesia, jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dideklarasikan. Mereka kemudian berkembang dari generasi kegenerasi dan hingga kini keberadaan mereka tersebar di tiga wilayah Kabupaten yakni TojoUnauna, Morowali dan Banggai.
Dari sejumlah sumber hasil penelitian sebelumnya, secara etnolinguistik mereka digolongkan ke dalam salah satu sub rumpun Pamona dan keseharian mereka memakai bahasa Taa sebagai media komunikasi antara anggota komunitas.
Stigmatisasi dan penetrasi kekuasaan politik dari sejumlah pihak seperti kerajaan Tojo,Bungku dan Banggai. Dikuti pula dengan kedatangan Belanda danJepang, maka dipakailah idiom bahasa Sanskrit “Wana” yang artinya kawasan hutan. Penyebutan To Wana lebih sering digunakan dari pada Tau Taa oleh berbagai kalangan, hal ini dimaksudkan untuk memberi “stigma negatif” atas keberadaan mereka yang bermukim dalam kawasan hutan tropis.
Tidak ketiggalan pemerintah Indonesia melalui pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) juga memakai idiom “Wana” untuk memetakan mereka sebagai kelompok masyarakat “tertinggal, terpencil, suku terasing, orang dari gunung/hutan hingga komunitas adat terpencil”. Proses perkembangan dan pembangunan negara Hak Yang Terabaikan yang menitik beratkan pada programisasi dan proyeknisasi berbagai kegiatan pembangunan mengakibatkan orientasi kesuksesan material sebagai tolok ukur perkembangan masyarakat.
Tak terkecuali hal tersebut juga dirasakan Tau Taa.Berbagai program dan proyek mengatasnamakan “pembangunan dan demi kemajuan negara” seperti transmigrasi, relokasi, pembangunan jalan dan izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) sejak tahun 1970-an telah menafikkan keberadaan Tau Taa sebagai komunitas masyarakat adat yang juga memiliki hak-hak dasar untuk diakui sama secara hukumdengan anggota masyarakat lainnya di Indonesia.
Di wilayah sungai Bulang dan Bongka misalnya, cerita tergusurnya mereka dari wilayah adatnya telah terjadi sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Ironisnya, proses itu terus berlangsung hingga kini dengan atas nama “negara”. Eksploitasi kawasan hutan oleh Korporasi HPH telah meluluh-lantakkan kebun-kebun rotan, damar dan ladang-ladang padi mereka.
Tidak terkecuali disekitar sungai Salato dan Morowali, penetapan wilayah tersebut sebagai kawasan konservasi yang biasa disebut Cagar Alam Morowali, menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas Tau Taa. Penetapan itu seolah mengusik hak hidup masyarakat Tau Taa yang lebih dulu hadir dan berkembang disana jauh sebelum kawasan itu diklaim sebagai areal konservasi.
Belum adanya pengakuan secara hukum oleh negara melalui pemerintah atas hak-hak dasar mereka seperti pengakuan atas wilayah kelola dan hukum adatnya menjadi masalah tersendiri dalam relasi struktural pemerintah dengan warganya hingga kini. Padahal Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta konstitusi 1945 Republik Indonesia, semuanya mengakui secara hukum keberadaan komunitas-komunitas masyarakat adat seperti halnya Tau Taa.
Beberapa tahun terakhir ini, Tau Taa Wana sedang meniti jalan perjuangannya untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah Propinsi Sulteng. Melalui pengajuan “Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Tau Taa Wana di Sulawesi Tengah,” bergantung harapan akan kehidupan lebih baik bagi generasi penerus TauTaa Wana.