Korupsi telah menjadi “the way of life” bangsa Indonesia, merasuk hingga ke segala aspek kehidupan tidak hanya di birokrasi tetapi sampai pada perilaku kehidupan sehari-hari. Berbicara tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, rasanya bagai menggapai awan, karena setiap usaha yang telah dilakukan, berakhir percuma atau paling hanya bertahan seumur jagung.
Suka tidak suka atau sadar tidak sadar, masyarakat terperangkap dalam praktek korupsi yang dipasang para pelayan publik. Misalnya, ketika pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), masyarakat harus rela menge-luarkan biaya ekstra untuk mempero-leh pelayanan yang menjadi haknya. Tetapi ada sebagian anggota masyarakat yang merasa nikmat memperoleh kemudahan dari praktik korupsi yang disediakan pelayan publik tersebut.
Dari contoh tersebut menunjukkan bahwa, pertama, masyarakat juga terlibat dalam praktek korupsi meski terpaksa atau karena nikmat memperoleh kemudahan. Kedua, hak dan kewajiban menjadi terbalik, masyarakat yang memiliki hak justru diwajibkan melayani pelayan publik. Sebaliknya, pelayan publik yang mempunyai kewajiban justru merasa mempunyai hak dilayani masyarakat. Ketiga, munculnya ironisme yang menga-takan ‘’di republik ini mana ada hak yang gratis, kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah’’.
Kurangnya pemahaman atas upaya pemberantasan korupsi, diakibatkan juga aturan terkait pemberantasan korupsi belum tersosialisasi maksimal di masyarakat. Hal ini yang kemudian menimbulkan keraguan dan tidak pro aktifnya masyarakat ketika menemukan praktek korupsi. Padahal, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 41 dinyatakan, masyarakat mempunyai:
hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan terjadinya korupsi; hak memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan terjadinya korupsi kepada penegak hukum; hak me-nyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum; hak untuk memperoleh jawaban atas laporannya yang disam-paikan kepada penegak hukum dalam tempo paling lama 30 (tiga puluh) hari; dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melak-sanakan hak-haknya tersebut di atas.
Berdasar acuan aturan tersebut, peran serta masyarakat menjadi faktor penting mengawal arah pembangunan termasuk sistem pelayanan dan anggaran publik. Dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2006, merupakan contoh kasus yang terjadi akibat tidak terkawalnya pengelolaan anggaran publik. Kerugian negara yang mencapai hingga Rp115 miliar, merupakan angka yang fantastis dalam perca-turan kasus korupsi di daerah.
Keseriusan penegak hukum menjadi faktor penentu keberhasilan penanganan kasus korupsi yang telah memberi dampak buruk bagi pemba-ngunan di Kabupaten Donggala itu. Karena mengingat, bukan hanya keuangan negara yang dirugikan tetapi lebih dari itu adalah hak asasi masyarakat luas.
Jika tidak ada upaya serius untuk memberantas korupsi maka masa depan Kabupaten Donggala secara khusus, akan terancam karena korupsi. Dapat dibayangkan, kabupa-ten tertua di Propinsi Sulawesi Tengah dengan tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi, kualitas sumber daya manusia relatif masih rendah serta berpenduduk lebih kurang 450 ribu jiwa mengalami keterpurukan ekonomi akibat praktek monopoli dan kronisme.
Ibarat kapal bocor yang sarat muatan dapat dipastikan akan karam saat mengarungi samudera luas. Sekali lagi, tanggung jawab pemberantasan korupsi bukan hanya pada aparat penegak hukum, namun masyarakat luas harus turut serta mengawasi dan memberi informasi seputar praktek korupsi yang terjadi.