SEMARAK perlawanan atas kebijakan kenaikan BBM kali ini banyak mewarnai rubrik SILO. Tentu dapat diamklumi, karena isu ini sangat bersentuhan dengan segala sendi kehidupan rakyat terutama bagi rakyat miskin. Mahasiswa yang hadir sebagai bagian penganjur keadilan bagi rakyat miskin, bangkit kembali untuk menolak bentuk kesewenang-wenangan pemerintah yang mengatas-namakan negara dan kepentingan rakyat.
Hati kecil kita bertanya, tak hanya bagi mereka yang terdaftar dan tidak terdaftar sebagai rakyat miskin tetapi bagi semua lapisan masyarakat, terkecuali para loyalis rezim SBY-JK, “benarkah kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, untuk kepentingan rakyat kecil?”.
Banyak alasan yang disampaikan masing-masing pihak. Seperti Wakil Presiden kita, Mohammad Yusuf Kalla yang berprofesi sebagai saudagar ini akan banyak menghitung “untung dan ruginya” negara dari sisi sektor usaha. Tetapi bagi petani, kenaikan BBM berakibat pada naiknya harga sarana produksi seperti pupuk yang belum tentu seimbang dengan kenaikan harga hasil pertaniannya.
Bagi nelayan, kebijakan ini, membuat mereka menambatkan perahu, karena hasil laut sudah tak dapat mengembalikan pembelian solar. Demikian pun buruh, kenaikan 30 persen harga BBM, semakin tidak dapat menjangkau harga sembako. sementara pengusaha kecil, merasak kenaikan harga bahan-bahan produksi seperti kedelai bagi pengrajin tempe dan tahu dapat mengancam usahanya hingga gulung tikar.
Perlawanan terhadap pemerintahan SBY-JK menemukan momentumnya di 100 hari Kebangkitan Nasional, tanggal 21 Mei 2008. Banyak elemen demokrasi yang turun kejalan. Seperti di Sulawesi Tengah, DPRD Propinsi menjadi titik sasar para pendemo. Nampaknya, aksi-aksi ini masih terfragmentasi, Front yang seharusnya menjadi aliansi bersama, ternyata memiliki banyak nama pada isu yang sama. Ada Front Pembebasan Nasional, Front Perjuangan Pembebasan Rakyat, Front Perjuangan Rakyat, Gerakan Rakyat Anti Kenaikan BBM, Forum Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa Palu dan banyak lagi yang lainnya. Semua berteriak “Tolak Kenaikan BBM”.
Dapatkah mereka bersatu? tidak mudah menjawabnya, hanya satu yang pasti, “kemenangan tak dapat diraih tanpa persatuan”.
Hapan persatuan gerakan pro demokrasi masih terbetik di masing-masing aktivisnya. Beberapa momentum di bulan Mei dan Juni ini, yang dapat menjadi ajang konsolidasi adalah peringatan 10 tahun peristiwa penembakan mahasiswa Tri Sakti (12 Mei) dan reformasi, hari lahirnya Pancasila (1 Juni), hari Lingkungan Hidup (5 Juni), dan Hari Jatuhnya Rezim Orde Baru atau Presiden Soeharto (20 Juni).
Berkaitan dengan momentum-momentum tersebut, Edisi SILO ini juga memaparkan beberapa hal kepada pembaca, misalnya pergantian Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dimana Beri M. Furkan tampil sebagai pemegang mandatnya dan tampilnya Willianita Selviana sebagai Direktur Eksekutif Walhi Sulteng. Terpilihnya kedua aktivis lingkungan ini menemukan tantangnya sendiri karena peringatan Hari Lingkungan Hidup di tahun 2008 berada dalam situasi perjuangan menentang kebijakan harga BBM oleh pemerintahan SBY-JK dan degradasi lingkungan yang semakin akut.
Sementara aktivitas Yayasan Merah Putih yang dituangkan di rubrik pekarangan banyak mengulas tentang perjalanan Trans TV dalam meliput Sekolah Lipu di Dataran Bulan, dan Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan YMP.
Semoga pembaca menemukan hikmah di balik itu semua.*
Redaksi