SEJAK 1 Januari 2010, Indonesia wajib membuka pasar dalam negeri secara luas untuk produk dari negara-negara ASEAN dan Cina. Sebaliknya, Indonesia pun akan diberikan kesempatan lebih luas untuk memasukan produknya ke pasar negara-negara tersebut.
Kewajiban membuka pasar dalam negeri seluas-luasnya bagi produk asing merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). yang menjadi per-soalan saat ini apakah kebijakan pasar bebas ini menguntungkan bagi bangsa Indonesia dan membawa perubahan nasib bagi rakyat negeri ini, atau justru sebaliknya?
Sejumlah kekhawatiran dari pelaku dan pengamat ekonomi pun menyambut pemberlakuan pasar bebas seperti yang di-sampaikan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Menu-rut Hidayat, dalam kerangka ACFTA yang berlatar bela-kang semangat bisnis, Cina bisa berbuat apa pun untuk mempengaruhi Indonesia mengingat kekuatan ekono-minya jauh di atas Indonesia (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
Sejumlah ekonom juga me-ngomentari bahwa dengan dimu-lainya perdagangan bebas Indonesia-Cina, serbuan produk Cina ke Indonesia akan “seperti tsunami”. Perjanjian perdagangan bebas seperti ACFTA dinilai sebagai bentuk penghianatan terhadap rakyat yang seharusnya dilin-dungi dari ketidakberdayaan ekonomi.
Dalam konteks Sulawesi Tengah, maka sektor yang paling terpengaruh nantinya adalah pertanian khu-susnya pangan dan hortikultura, sebagai daerah yang mengandalkan sektor pertanian dan sebagian besar penduduknya hidup dari sektor itu maka dapat dipastikan perdagangan bebas produk pertanian akan berdampak besar.
Negara lain sejak jauh hari sudah mempersiapkan pertaniannya untuk menghadapi era perdagangan be-bas, sementara petani kita masih terbelit masalah klasik mulai dari ketersediaan bibit, kelangkaan pu-puk, rusaknya irigasi dan infrastruktur lainnya, ketersediaan pasar hingga jaminan harga yang tidak me-nentu. Hal ini akan membuat produk pertanian asal Indonesia tidak akan sanggup bersaing akibat indus-tri pertanian dalam negeri yang lemah.
Dibandingkan dengan Negara lain, pertanian kita jauh tertinggal, jangankan dengan china, dibanding-kan Thailand pun kita kalah. Negara ASEAN lain telah melaksanakan berbagai program pembangunan bi-dang pertanian seperti penggunaan bioteknologi, va-rietas baru tanaman dan hewan, pembangunan eko-nomi dan infrastruktur pertanian di daerah pedesaan untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan daya saing produknya.
Mereka juga mengambil langkah-langkah guna meningkatkan sistem promosi pembangunan pertanian pada setiap tingkat, membangun sistem untuk me-mantau harga produk pertanian, mengetatkan penge-lolaan dan menjamin kecukupan bahan baku untuk produksi pertanian. Serta mening-katkan kualifikasi pekerja dan manager di sektor pertanian dengan mengalirkan lebih banyak inves-tasi dalam program pendidikan dan pelatihan bagi para petani.
Tak heran bila produk per-tanian, China, Thailand bah-kan Vietnam, seperti beras, kopi, karet, teh, merica, ka-cang mete, dan buah-buahan, dapat berkompetisi dengan produk Negara lain. Beberapa diantara pro-duk mereka tersebut telah mendominasi pasar dunia pada tahun-tahun terakhir.
Apabila pemerintah Indonesia tidak mengambil tindakan segera dan terpadu untuk membangun sektor pertaniannya, maka dapat dipastikan komo-ditas asing akan segera membanjiri pasar dalam negeri, bila ini terjadi dapat dipastikan sektor pertani-an kita khususnya pangan lokal akan mengalami kehancuran.
Saat sistem pangan lokal kita hancur luluh, maka kita akan kehilangan kedaulatan pangan, dan selalu bergantung pada kepentingan asing, dan rakyat utamanya petani akan menjadi pihak yang paling menderita.
Berkaitan dengan semua itu maka Silo memilih topik perdagangan bebas Asean-China sebagai fokus liputan di edisi ini, agar masyarakat luas khususnya petani bisa mengetahui kesulitan dan bahaya yang menyertai perdagangan bebas. Selain itu beberapa informasi lainnya kami hadirkan di edisi ini. Selamat membaca.
Salam Takzim