SILO 52 ” MALAPETAKA KEKAYAAN ALAM”

Salam Hormat Buat Pembaca SILO

BENCANA demi bencana alam ‘dipertontokan’ secara luar biasa, utamanya longsor dan banjir. Korban jiwa, harta benda dan infrastrukrur yang telah dibangun pemerintah yang jumlahnya tak ternilai hancur catatan pada bencana tahun 2013 memberi gambaran dua orang meninggal, 20 rumah terendam banjir, 50 rumah rusak, jaringan listrik, jembatan dan putusnya jalan poros Palu Kulawi, 1.134 buah di enam Kecamatan Kabupaten Moro-wali terendam selama tiga hari dan 15 rumah hanyut.

Refleksi bencana 2013 sebagian disebabkan menurunnya kemampuan alam  dalam memberikan pelayanan. Krisis ekologi atau menurunnya daya dukung alam ini faktor utamanya disebabkan karena diberikannya sejumlah izin pada perusahaan ektraktif terhadap lingkungan.

PT Arthaindo di Podi, wilayah Kabupaten Tojo Una-una,  yang mendapatkan izin pertambangan atau perluasan perkebunan sawit milik PT. Sawit Jaya Abadi (SJA) yang telah mengkonversi lahan perkebun-an dan juga hutan yang diperkirakan luasnya di atas 5.000 Ha. merupakan contoh kecil. Betapa di wilayah kelola perusahaan tersebut rentan dengan bencana alam.

Krisis lingkungan yang kita hadapi tidak saja berdampak pada rusaknya lingkungan tapi sudah meluas sampai pada perampasan ruang hidup masyarakat. Konflik masyarakat dengan masyarakat, masyarakat versus perusahan dan masyarakat dengan pemerintah daerah, tidak terelakkan.

Namun, dalam pertarungan tersebut, rakyat selalu menjadi korban. Masyarakat sekitar yang akrab menerima dampak ekologi saat terjadi bencana. Saat menolakpun perusahaan yang akan mengelola sumberaya alam, lagi-lagi masya-rakat menjadi korban kriminalisasi.

Sepanjanga tahun 2010 hingga 2013, sebanyak 27 masyarakat se-tempat telah ditangkap dan dipenja-rakan karena konflik dengan perusa-haan sawit  (Walhi 2013).  Tidak hanya itu, kualitas lingkungan menja-di menurun. Ambil contoh di Podi, saat hutan dibuka PT Arthaindo Jaya Abadi  pohon-pohonpun tumbang dan menyisakan lobang yang berku-bang.

Sisa penggalian yang berisi material tanah dengan keasaman tinggi, dibuang ke sungai. Air sungai pun tercemar dan secara massif warga langsung merasakan, mende-rita gatal-gatal. Bahkan warga enggan memandikan jenazah kerabatnya pada April 2012.

Apa yang kemudian harus dilakukan menghadapi situasi ini. Manakah yang lebih diprioritaskan keselamatan warga atau memungut rente ekonomi?

Dibutuhkan daya dukung publik untuk mengingatkan pentingnya kesalamatan dan dibutuhkan  pempimpin bangsa yang punya integritas untuk merubah situasi ini.***

Redaksi

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *