Pasca perjanjian Paris di tahun 2015 mengenai reduksi emisi karbon dioksida (CO2), masyarakat dunia mulai bersatu untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Dikonfrensi tersebut setidaknya 55 negara meratifikasi Persetujuan Paris. Kesepakatan Paris membuahkan hasil bahwa negara membatasi pemanasan global hingga 1,5 deraja celcius dan maksimum 2 derajat Celcius pada tahun 2100. Namun banyak ahli memperkirakan emisi GRK global justru masih mengalami kenaikan dan diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2030. Berdasarkan analisis pakar, target 1.5 derajat Celcius dapat dicapai jika antara tahun 2030 hingga 2050.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terlibat dalam kesepakatan Paris. Diskala nasional, Pemerintah menyadari laju perubahan iklim saat ini semakin cepat. Perubahan temperatur harian seperti kemarau panjang, perubahan pola curah hujan, meningginya permukaan air laut maupun variabilitas iklim merupakan tanda sedang berlangsungnya perubahan iklim. Kondisi ini memberi dampak serius pada kehidupan manusia dilintas sektor seperti pertanian, perikanan, kesehatan dan juga berdampak pada perekonomian.
Sementara, ditingkat regional, dukungan kebijakan pemerintah daerah terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim justru belum optimal bahkan diperhadapkan dengan lajunya deforestasi hutan dan eksploitasi sumber daya alam yang justru berpengaruh pada penurunan kualitas lingkungan alam dan paling dirasakan oleh masyarakat ditingkat lokal.
Padahal ditingkat tapak (lokal) seperti di Sulawesi Tengah sendiri, khususnya di Kabupaten Donggala, terdapat pola-pola baku yang bersifat adaptif dan mitigasi dalam menekan laju perubahan iklim, seperti kebiasaan masyarakat perdesaan menanam pohon, menjaga mata air dan aliran sungai, hingga pengelolaan limbah sampah secara bijak.
Seperti masyarakat Desa Lampo, mereka masih memiliki cara-cara lokal yang tanpa disadari telah berkonstribusi langsung terhadap pengurangan emisi karbon dan efek gas rumah kaca. Konstribusi masyarakat ditingkat tapak dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan fakta nyata. Pada tahun 2018-2019 pengelola Hutan Desa Lampo sudah menanam pohon di hutan kurang lebih 500-an pohon. Praktik tata kelola hutan dan lahan secara bijak berdasarkan kearifan lokal merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Lampo. Praktik itu dikuatkan lagi oleh pengakuan legal-negara atas hutan desa (HD) Lampo seluas 215 hektar.
Sementara disatu sisi terdapat tantangan sosial ekonomi ditingkat lokal. Perusahaan swasta (sawit dan olahan kayu) pernah mencoba masuk di desa ini dengan janji relasi kerjasama untuk menghasilkan kesejahteraan ekonomi melalui pembukaan sawit dan olahan kayu. Namun, komitmen sosial untuk konsisten mengelola hutan dan lahan secara tradisi tanpa intervensi pihak luar (swasta) begitu kuat, sehingga percobaan itu gagal dan tidak lagi muncul hingga saat ini.
SILO edisi ke-81 ini menyingkap hasil identifikasi ditingkat tapak bahwa terdapat pola-pola baku oleh masyarakat lokal dalam menyikapi perubahan iklim melalui konsep adaptasi dan mitigasi yang dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar. Praktik itu diantaranya, penanaman pohon dibantaran sungai dan lahan hutan desa, memelihara mata air dan debit air dengan cara tidak menebang pohon di tepian sungai, menyiapkan bibit pohon untuk pencegahan reboisasi maupun untuk mempertahankan keseimbangan iklim lokal.
Redaksi.