Perebutan atas penguasaan lahan tidak bisa dipisahkan dari penguasaan akan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Dimana negara yang diharapkan dapat mengontrol pembagian dan pemanfaatan yang adil, kenyataannya masih memandang lahan dan sumber daya alam yang terkandung didalammnya sebagai sumber devisa melebihi sumber-sumber devisa.
Lebih-lebih ketika kebijakan yang diberikan pemerintah terhadap perusahaan ekstratif seperti tambang dan sawit telah memberikan kuasa eksploitasi dan dominasi pengolahan sumber daya alam. Kekuasaan tersebut sering digunakan saat melakukan penggusuran dan perampasan lahan-lahan produktif warga untuk kebutuhan perluasan lahan.
Bukan hanya itu saja, kadang kadang masyarakat harus menjadi menjadi korban pengusiran dan penyingkiran dari tanah dan rumah mereka sendiri. Jika mereka akan direkrut sebagai tenaga kerja pada perusahan-perusahan tersebut, maka buruh dengan upah rendah adalah posisi yang disiapkan. Kenyataan ini memunculkan paradoks yang sudah sering terdengar, yakni sumber daya alam yang melimpah justru menimbulkan bencana bagi penduduk wilayah tersebut.
Demikian dengan komunitas Tau Taa Wana di Dataran Bulang yang pernah menghadapiancaman pemindahan paksa dari wilayah tra disional mereka, untuk dijadikan buruh perkebunan sawit. Namun upaya pemindahan itu tak pernah terjadi, sebab mereka berhasil mengukir kisah yang menjadi bagian dari sejarah pergerakan komunitas adat dalam mempertahankan wilayah kelola.
Kini dengan adanya Putusan MK 35, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dan UU Desa telah menjadi peluang bagi masyarakat atau komunitas adat dalam merebut kembali wilayah kelola.(Redaksi)