MENJAGA NUSANTARA
Dua godaan besar yang secara ekonomis menjanjikan ditampik warga dengan kompak. Mereka bersikukuh hutan yang mengelilingi desa seluas 500 hektar harus tetap dipertahankan demi anak cucu dimasa depan sekaligus sumber penghasilan ekonomi. Hutan itu diyakini menjadi nyawa bagi masyarakat setempat sehingga wajib dijaga keselamatannya.
Oleh : Videlis Jemali
Kesejukan menyergap saat melintas di jalan tanah menuju satu dusun di tepi hutan, akhir Oktober lalu. Angin menggoyangkan ranting dan dedaunan dari pepohonan yang kokoh dan berlumut di pinggir jalan. Suara berbagai jenis burung mengiring perjalanan. Gemericik aliran air dua sungai yang dilintasi pengendara menambah semarak suasana. Inilah hutan di dekat Dusun Salubalimbi, Desa Lampo, Kecamatan Banawa Tengah, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.Suasana tersebut barang kali sirna jika tawaran empat tahun lalu disetujui warga desa. Seperti diceritakan Kepala Desa Lampo Tasnudin, sebuah perusahaan sawit berdialog dengan warga untuk membuka kemungkinan inves -tasi perkebunan di sana. Hasil sejumlah rembuk bersama, warga bulat menolak rencana itu.
Satu tawaran ditepis, tawaran yang menggiurkan lainnya menghampiri pada tahun yang sama. Perusahaan tambang hendak menambang di beberapa titik di kawasan hutan. Lagi-lagi, warga desa satu kata menolak. ’’Setelah dua tawaran itu, sampai saat ini, , tidak ada lagi perusahaan yang datang ke sini untuk menawarkan investasi,” kata Tasnudin, Kepala Desa Lampo sejak 2012.
Dalam setiap pertemuan, warga menyampaikan pendapat soal potensi bencana lingkungan jika hutan seluas 500 hektar itu dikelola menjadi perkebunan sawit dan pertambangan. Ketakutan warga bertambah karena ada kesaksian tentang bencana di daerah-daerah yang hutannya dikelola untuk dua jenis usaha padat modal itu.
’’Kami sudah lama sekali di sini dan hidup berdampingan dengan alam. Ini membuat kami bulat untuk tidak menyerahkan hutan,” jelas Tasnudin.
Untuk mendapatkan legalitas kepemilikan dan pemanfaatan hutan, warga memperjuangkan mekanisme hutan desa. Untuk itu, Yayasan Merah Putih Sulteng membantu dari sisi kelembagaan. Perjuangan dimulai pada 2013 dengan mendirikan lembaga pengelolaan hutan desa dan mengurus administrasi dari Dinas Kehutanan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulteng, hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Sulteng Diosthenes, yang bersama rombongan dari KLHK mengunjungi hutan desa tersebut akhir Oktober, menyatakan, penetapan hutan Desa Lampo oleh Gubernur Sulteng paling lambat terbit Desember. Keputusan dari KLHK sudah diteken dengan luas hutan desa 215 hektar dari total 500 hektar yang diusulkan.
Karena hutan di Desa Lampo berstatus hutan lindung, warga hanya boleh memanfaatkan hasil hutan nonkayu, seperti bambu, rotan, dan aren (untuk pembuatan gula aren). ’’Konsep hutan desa adalah memanfaatkan hutan dengan tetap memperhatikan aspek konservasi. Hutan desa diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan tepi hutan,” kata Diosthenes.
Pemanfaatan hutan desa bergantung pada status kawasan hutan. Untuk hutan produksi, masyarakat setempat, baik secara individual maupun korporasi, bisa mengantongi izin untuk memanfaatkan kayu di dalam kawasan hutan. Untuk hutan lindung, pemanfaatan hanya sebatas hasil hutan nonkayu. Kontrak hutan desa selama 35 tahun dan bisa diperpanjang satu periode lagi berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
Warga Desa Lampo berjumlah 1.016 jiwa dengan 212 keluarga. Mereka umumnya bekerja sebagai petani dengan budidaya cengkeh dan kelapa. Desa Lampo berjarak sekitar 30 kilometer dari Donggala, ibu kota Kabupaten Donggala, atau 60 kilometer dari Palu, ibu kota Sulteng.
Fauna endemik
Hutan desa yang akan ditetapkan itu batasnya berjarak 400 meter dari permukiman warga. Hutan berlokasi di perbukitan. Berdasarkan kajian Yayasan Merah Putih Sulteng, hutan Desa Lampo menyimpan sejumlah fauna endemik. Ada enam jenis bambu yang tumbuh di hutan tersebut. Salah satunya bambu batu. Ada pula pohon endemik yang oleh warga lokal disebut lekotu. Pohon ini menjulang di bantaran sungai. Di Dusun Salubalimbi dua pohon itu kokoh berdiri.
Hutan juga menjadi habibat dua satwa endemik Sulawesi, yaitu burung rangkong/engg’ang (Buceros) dan monyet hitam sulawesi (macaca nigra).
Untuk kepentingan wisata, di kawasan hptan ada air terjun bertingkat. Airnya sangat sejuk. Air terjun ini dikelingi pepohonan besar nan menjulang.
Untuk aktivitas ekonomi, air dari hutan Desa Lampo menjadi salah satu Sumber air bersih untuk Kabupaten Donggala. .Selain itu, sungai dari hutan tersebut juga dimanfaatkan untuk irigasi sawah di Kecamatan Banawa Selatan, Donggala. ’’Melihat strategisnya keberadaan hutan, kami bersama warga mendorong langkah konservasi sambil tetap dimanfaatkan secara terbatas dalam skema hutan desa,” kata Edi Wicaksono dari Yayasan Merah Putih.
Asparin (43), warga Dusun Salubalimbi, menuturkan, selama ini warga tidak merambah hutan. Ada yang hanya mengambil madu dengan sistem pengasapan, bukan menebang pohon tempat lebah berada. ”Itu cukup membantu karena harga madu asli Rp 80.000 per botol volume 600 mililiter,” katanya.
Kedepan, potensi hutan desa dikembangkan dengan berbagai pendekatan, seperti pertanian dan wisata. ’’Madu dan aren,misalnya, harus dikelola dengan baik agar menjadi produk ung-gulan dari tempat ini. Air terjun juga harus dipromosikan dan dijaga agar berkembang menjadi destinasi yang dipadu dengan pendakian gunung,” ujar Kepala Bidang Ketenagakerjaan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia KLHK Anton Suwartono.
Tasnudin mengatakan, dirinya masih belum memiliki gambaran pemanfaatan hutan desa. Namun, dengan bimbingan berbagai pihak yang memahami kehutanan, ia optimistis pengelolaan hutan desa berjalan pada dua aspek, yaitu demi kesejahteraan warga sekitar dan kelestarian lingkungan. ’’Kami junjung tinggi mandat ini demi kelangsungan kehidupan masa depan,” katanya.
Sumber : Kompas Edisi Rabu, 23/November/2016