Palu, 12/04/19, Akhir-akhir ini pertarungan wacana tanggul laut semakin memanas setelah pemerintah daerah (Pemda) Sulawesi Tengah merencanakan pembangunan teknologi buatan melalui tanggul laut yang rencana ditempatkan dipesisir pantai diteluk Palu sepanjang 7000 meter yang membentang mulai dari Kelurahan Silae hingga Kelurahan Talise. Bagi Pemda Sulteng tanggul laut diklaim sebagai keputusan yang tepat dan sesuai dengan kondisi bentang alam teluk Palu yang mengalami perubahan (down lift) pasca bencana gempa bumi.
Apalagi, pembuatan tanggul laut itu telah tersusun dalam rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng yang tentu sudah didasarkan atas kajian-kajian ilmiah dan relevan, sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolak perencanaan itu guna mendukung proses pembangunan Sulteng yang sudah memasuki tujuh bulan bangkit dari bencana alam.
Alasan Rasional Pemerintah
Seperti yang diberitakan media Kompas baru-baru ini bahwa pemerintah bersikukuh membangun tanggul laut untuk mengantisipasi air pasang dan tsunami karena dianggap lebih optimal melindungi wilayah pesisir teluk Palu terutama dari ancaman bencana tsunami. Praktis pemerintah melalui Kementrian PUPR menilai jika tanggul laut dibangun atas pertimbangan kondisi tebing teluk Palu yang mengalami penurunan berikut untuk memberikan manfaat sosial ekonomi daerah (Palu-Kompas 4/4/2019).
Alasan kuat lainnya bahwa mega proyek tanggul laut ini dilakukan berdasarkan dokumen rencana induk pemulihan dan pembangunan kembali wilayah terdampak bencana Sulteng dimana dokumen itu telah ditandatangani Wapres Jusuf Kalla. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa rekonstruksi infrastruktur di Sulteng bertujuan mengurangi resiko bencana dengan mengusung konsep “build back better” dari ancaman tsunami, sehingga tanggul laut telah melalui uji pertimbangan (Jakarta-Kompas 29/03/2019). Jika perencanaan itu atas dasar pertimbangan rasional pemerintah lalu apakah tanggul laut setinggi 1,5 – 3 meter itu nantinya akan benar-benar mampu meredam gelombang tsunami setinggi 5-11 meter? Apalagi konstruksi tanggul laut teluk Palu ini dilakukan melalui skema hutang luar negeri yang didasarkan atas usulan dan pendanaan badan kerjasama internasional Jepang (JICA).
Logika Rasional Non Pemerintah
Menanggapi polemik wacana tanggul laut teluk Palu, berbagai penggiat lingkungan dan organisasi masyarakat sipil (NGO) Sulteng memiliki perencanaan yang berbeda dengan pemerintah. Kubu ini berpendapat bahwa rencana pembuatan tanggul lau merupakan mega proyek yang dinilai tidak efisien terhadap bentang alam teluk Palu yang sebenarnya lebih membutuhkan sentuhan alamiah dan justru membebani negara dan daerah (hutang luar negeri).
Kubu yang kontra pemerintah mengklaim sangat mengecam rencana itu (tanggul laut) dan gencar menyuarakan sikap penolakan karena dinilai jika pemerintah telah irasional dalam mengambil keputusan itu terutama di masa rehabilitasi dan rekonstruksi Sulteng saat ini. Langkah yang paling tepat diambil adalah membuat teknologi lamiah peredam tsunami dan pengharang air pasang (rob) yaitu menanam mangrove yang sesuai dan cocok dengan tanaah perairan teluk Palu. Kompas (6/4/2019) memberitakan bahwa teluk Palu sangat cocok untuk mangrove. Hal ini dikuatkan dengan histori mangrove yang hingga 1978 masih tumbuhkembang di teluk Palu. Secara ilmiah mangrove sangat fungsional dalam proteksi pesisir dan perkembangan biota laut.
Azmi Sirajuddin selaku anggota Dewan Walhi Nasional merasionalkan terkait langkah yang mesti dilakukan organisasi masyarakat sipil terkait permasalahan ini. “NGO yang menolak rencana pembuatan tanggul harus melakukan kajian (ilmiah) tandingan. Karena pemerintah secara teknis telah melakukan kajian ilmiah karena mereka memiliki ahli-ahli. Kita (NGO) harus menggunakan akademisi mungkin dari Untad untuk mengkaji bentang alam teluk Palu apakah sesuai untuk tanggul raksasa atau tanggul alami mangrove. Karena tanpa membuat kajian tandingan kita akan kalah. Apalagi itu (tanggul laut) sudah masuk dalam rencana induk rehab rekon Sulteng” Ujar Azmi (11/4/19).
Hingga saat ini kubu non pemerintah merasionalkan bahwa kondisi teluk Palu tidak membutuhkan teknologi rekayasa laut sebagaimana terus disuarakan pemerintah melaui media. Sebaliknya, hutan mangrove dianggap lebih tepat dalam meminimalisir resiko bencana alam karena mangrove merupakan teknologi alamiah yang fungsional untuk mitigasi bencana dan sudah terbukti mampu meredam serta meminimalisir dampak gelombang tsunami di beberapa tempat seperti di Kelurahan Kabongan Besar Kecamatan Banawa pada 28 september 2018 lalu. (Nutfa)