Akutansi Perusahaan Rugikan Masyarakat

(Palu, 1 Juli 2015), Selama 2 tahun beroperasi PT.ASU/ASTIMA sudah 48 kali melakukan pengapalan, rata-rata pada setiap pengapalan memuat 5.000 ton nikel. Harga rata-rata nikel pada tahun 2011 US 18.296/ton dengan biaya produksi US 730,6, tahun 2012 harganya US 13.552 dengan biaya produksi 802,8 sebagaimana yang dilansir Internal Magazine pada Juli 2013. Dengan asumsi tersebut, maka angka harga terendah saja, perusahaan sudah mendapatkan laba kurang lebih 29 triliun.
Atas nama Pendapatan asli daerah, pemerintah daerah kerap memberi izin operasi perusahaan-perusahaan mengelola kekayaan yang dimiliki masyarakat setempat – namun sayang, akuntansinya selalu merugikan rakyat dan juga daerah. Penemuan atau sumberdaya alam selalu memunculkan impian tentang kekayaan dan kemakmuran di negara-negara berkembang. Dalam banyak kasus, sejumlah temuan ini justru kerap dikaitkan dengan konflik politik yang merusak dan kemunduran ekonomi berkepanjangan. Fakta bahwa negara-negara yang mendapat berkah kelimpahan sumberdaya alam kerap kali terperosok dan terperangkap dalam suatu situasi yang populer disebut sebagai kutukan sumberdaya alam (Joseph, Escaping The Resource Curse, , 2007)

Akutansi Perusahaan
PT ASU/ASTIMA yang beroperasi sejak 2011 dengan mengeksplorasi tambang nikel di Desa Pinapuan Kecamatan Pagimana Kabuapten Banggai. Pada 6 Desember 2011 dilakukan pengapalan pertama ke China saat Amdal perusaah belum terbit. “Amdal perusahaan ini baru keluar pada tanggal 14 desember 2011. Amdal belum keluar penambangan sudah beroperasi, ungkap Ketua BPD.

PT ASU/ASTIMA mengeruk kekayaan alam pada sumber air masyarakat, menyebabkan air tercemar. Mengebor gunung-gunung, membabat hutan untuk mendapatkan bijih nekel. Selama PT ASU/ASTIMA ada sudah 48 kali melakukan pengapalan, setiap pengepalan sekitar 5.000 ton bijih nikel yang terangkut. Desember 2013 perusahaan tidak beroperasi lagi. Apa yang didapat masyarakat, sejahterahkah? Entah berapa pendapatan asli daerah yang didapatkan atas beroperasinya persahaan tambang nikel ini. Namun yang pasti masyarakat di Desa Pinapuan lebih banyak mendapatkan penderitaan sampai saat ini.

Akuntansi Rakyat
Tenaga Kerja (+/-). Selama berperasi, PT ASU/ASTIMA merekrut masyarakat lokal untuk bekerja diperusahaan tersebut. Pada awal beroperasi (Tahun 2011) warga setempat yang bekerja sebanyak 25 orang. Memasuki tahun 2012 sebanyak 11 orangpun dipecat. 11 orang yang dipecat oleh perusahaan karena teribat dalam kasus pemblokiran tambang. Tidak terima dipecat kemudian melapor ke Depnaker atas pemutusan kerja secara sepihak, tapi pihak perusahaan tidak mengindahkan sama sekali rekomendasi dari Depnaker.
Rp 300.000/KK (+). Tanggal 23 Pebruari 2014, pemerintah desa di Kecamatan Pagimana berkumpul di rumah makan antara lain Desa Lamo, Pakoa, Tongkonunu, Sinampangnyo, Asaan, Pinapuan dan Kelurahan Pagimana. Pertemuan di rumah makan yang dihadiri Bupati dalam rangka penyerahan bantuan sosial dari perusahaan sebesar Rp 50 juta. Desa Pinapuan yang banyak menerima dampak negatif atas beroperasinya perusahaan itu juga meneirma dana yang sama. Danapun dibagi ke warga, per KK mendapat Rp 300 rb. Selain bantuan untuk, masyarakat perusahaan juga membantu perbaikan rumah-rumah ibadah.
Air Bersih (-), Salah satu rekomendasi dari Amdal adalah soal air bersih. PT ASU/ASTIMA berkewajiban mengadakan Air bersih bagi warga sebagai dampak turunan dari beroperasinya perusahaan. Namun itu tidak dilakukan. Sementara hasil penelitian dari Dinas Kesehatan Banggai tahun 2012 menyimpulkan air di Desa Pinapuan tidak boleh dikonsumsi. Air yang mengalir sampai ke rumah warga, secara kasat mata memang tidak layak. Warnanya kecoklatan. Wargapun memprotes ke Bupati atas pencemaran air oleh perusahaan. Pihak pemerintah daerah pernah berkunjung ke balai Desa melakukan tatap muka dengan warga. Dalam pertemuan itu, Bupati menyatakan, agar masyarakat tidak menggunakan lagi air untuk dikonsumsi – air hanya digunakan untuk cuci dan mandi. Dalam pertemuan tersebut masyarakat berharap dan mendesak pemda agar air bersih untuk masyarakat segera difasilitasi. Tahun 2014 pemerintah daerah mengusahakan air bersih untuk warga. Waktu itu dilakukan pemboran sedalam 50 meter — namun hasilnya tidak juga mendapatkan air. Bulan Oktober 2014, masyarakat melakukan hearing di DPRD Banggai meminta agar masyarakat difasilitasi air bersih – namun sampai sekarang pihak DPRD tidak ada yang turun ke desa Pinapuan.
Kesehatan (-), Tak ada alternatif lain. Air ‘kecoklatan’ oleh masyarakat tetap digunakan baik untuk konsumsi, mencuci ataupun mandi. Akibatnya, masyarakat banyak mengalami penyakit kulit seperti gatal-gatal, bisul kecil-kecil sampai penyaki hosa (asma).
Pendapatan (-). Pekerjaan perempuan sebelum beroperasi perusahaan biasanya dengan tangan terampilnya membuat tikar, tampi beras, dan anyaman lainnya – semua bahan bakunya diambil dari hutan. Begitupun laki-laki, mengambil hasil hutan bukan kayu seperti damar, rotan atau berburu binatang. Namun sejak perusahaan beroperasi dengan membawa mesin dan truk masuk hutan – hutan habis dibabat, akses masukpun dibatasi. Sejak beroperasinya perusahaan pendapatan masyarakat berkurang.

Masyarakat Butuh Ruang Hidup
Dengan kenyataan yang ada di Panipuan, pemerintah tidak sama sekali tidak mempertimbangkan hak asasi perempuan dan anak. Bukan berarti kita tidak membela laki-laki, masa pemerintah sampai tega tidak memfasiltasi air. Nuraninya pemerintah dimana? – perempuanlah yang banyak menderita dan kesulitan menagatur hidup keluarganya tanpa air bersih, ungkap Ibu Onah Samada.
Ibu Onah yang juga Ketua Presedium Katumpua mengkritik tajam pemerintah atas apa yang dialami masyarakat Panimpuan. Harusnya pemerintah jangan melihat duitnya — seharusnya diberitahu ke masyarakat dampak dan akibat-akibat yang ditimbulkan secara keseluruhan.
Menurut anngota presidum Katumpua Daud Hambuako Masyatakat harus membuka diri, Masyarakat harus berani bicara untuk mempertahankan ruang hidup masyarakat agar masyarakat bisa selamat, ungkapnya usai mengikuti rapat kerja Katumpua Pebruari 2015.  (Zaiful)

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *