Menyingkap Babak Baru Perjuangan Orang Lee

Unjuk Rasa Menggelegar, Sidang Digelar
Palu (21/05). Senin siang sekitar pukul 11.00 Wita ratusan orang berkumpul memadati halaman depan kantor Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Palu yang bertempat di jalur dua Jalan Moh Yamin. Aliansi dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa ini menyuarakan tuntutan kepada Pemda Sulteng untuk segera mencabut izin HGU milik PT. SPN yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2009 silam karena dianggap sebagai instrumen perampasan hak atas tanah ulayat milik warga Desa Lee Morowali Utara.

Aliansi itu diantaranya KPA Sulteng, Himasos Untad, YTM Sulteng, GMKI dan organisasi lainnya yang bersatu menyuarakan aspirasi kepada pihak pemda untuk segera mengusut tuntas sengketa lahan antara warga Lee dengan PT.SPN.

Aksi Unjuk Rasa Aliansi Sipil dan Mahasiswa Di Depan Kantor PTUN Palu, Senin 20 Mei 2019. Foto: NFA

Diwaktu dan tempat yang sama sidang lanjutan keterangan saksi juga digelar di PTUN, Senin (20/05). “Aksi (unjuk rasa) bersamaan dengan sidang keterangan saksi di dalam yang dimulai 10.30. Unjukrasa digelar pukul 11.00 sampai jam 15.00” ujar salah seorang staf PTUN kepada jurnalis YMP Sulteng. Sidang saksi merupakan lanjutan dari sidang saksi sebelumnya pada 30 April lalu. Rencananya pada pekan depan sidang terakhir-sidang kesimpulan akan kembali di gelar di PTUN.

Kasus Konflik HGU
Konflik antara warga Lee dengan PT.SPN sudah mulai muncul ke permukaan sejak 2014. Melihat historinya, benih konflik telah tumbuh ditahun 2009 tepatnya ketika izin konsesi lahan nomor 20-HGU-BPNRI-2009 dengan luasan lahan 1.895 ha terbit pada 27 Januari 2009 yang diberikan kepada PT.SPN yang kala itu masih bernama PT.PN XIV yang bergerak dibawah naungan BUMN sebagai perizinan perkebunan sawit.

Dari luasan itu sebanyak 800 ha rupanya masuk dilahan milik warga Lee yang didalamnya terdapat tanah/lahan pertanian, peternakan, pengairan dan lahan pekuburan tua yang warga Lee klaim sebagai warisan orang tua mereka. Inilah yang menjadi inti persoalan.

Warga Lee yang lahannya masuk dikawasan perkebunan sawit PT.SPN menjadi geram dan tidak menerima kenyataan. Aksi protes (menyurat) dilayangkan kepada Pemda Morowali, termasuk BPN sebagai pemberi izin HGU, tetapi upaya itu tidak berbuah manis. Akhirnya warga Lee menaruh dugaan jika dalam alihfungsi lahan proyek ekspansi sawit ini pihak BPN telah bekejasama dengan PT.SPN.

Negara Turut Terlibat
Bukan hanya dugaan, tetapi pemberian HGU oleh BPN kepada PT.SPN telah menandai bahwa negara (BPN) secara langsung telah terlibat kedalam konflik tenurial antara warga Lee dengan PT.SPN. Sehingga konflik segitiga ini masih berlangsung hingga kasus HGU ini diseret ke PTUN Palu ditahun 2019 ini.

Sebagai pemilik lahan sekaligus tuan kampung warga Lee merasa dirugikan oleh negara (BPN) dan PT.SPN. Terlebih ketika mereka menganggap bahwa warga Lee tidak pernah melakukan serahterima lahan untuk perkebunan sawit kepada PT. SPN. Sejak itulah mereka merasa merasakan kekecewaan mendalam dimana negara ternyata belum berpihak penuh pada petani kecil.

Perjuangan Masih Panjang
Sudah empat kali digelar sidang barang bukti, ditambah sidang keterangan saksi pada April lalu bahkan hingga kini, tetapi titik terang dari konflik segitiga ini nampaknya masih belum berujung. Artinya, perjuangan warga Lee untuk membebaskan lahan mereka dari wilayah HGU PT.SPN masih cukup panjang.

Lewat jalur hukum warga Lee berharap penuh kepada Yansen Budiman, SH.,MH dan Moh. Amin Khoirun, SH.,MH untuk membela perkara rumit ini. Kedua advokat muda ini sejak Maret hingga 22 April lalu didepan pengadilan menunjukan barang bukti (Barbuk) diantaranya surat-surat pembayaran pajak tanah, bukti legalitas kepemilikan tanah, maupun peta overlay kawasan HGU dari BPKH Sulteng.

Sementara, aliansi yang selama ini merasa tidak puas dengan gelar perkara dipengadilan serta sikap Pemda Sulteng (BPN) yang terkesan mengabaikan aspirasi dengan semangat tinggi mendukung perjuangan panjang warga Lee untuk lepas dari klaim HGU PT.SPN dan bayang-bayang konflik tenurial. (NFA)

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *