Menjadi Buruh Di Tanah Leluhur

Ketika PT.KLS mulai memperluas ekspansi sawit didataran Taronggo, Morowali Utara 1997 silam, masyarakat sekitar beramai-ramai direkrut menjadi buruh perkebunan sawit, bahkan sebagiannya rela menjalin mitra inti-plasma, tidak terkecuali kalangan orang Wana Posangke yang terdesak tekanan ekonomi membuat mereka rela menjadi buruh PT.KLS.

Ingin Melawan tapi Butuh Uang
“Jadi saya sementara kerja di kebun sawit tapi saya lawan juga PT.KLS. Setiap hari saya kerja baku bantah dengan mandor. Lalu saya pikir ini tidak baik”. Begitulah pengakuan salah satu dari komunitas Wana Posangke dalam wawancara pada Maret 2018 silam.

Bekerja sebagai buruh sawit di PT. KLS diakui orang Wana Posangke tidak memberikan kepuasan dan ketentraman batin. Karena sebelumnya tanah tempat mereka menggarap sawit merupakan tanah adat yang dimiliki nenek moyang mereka. Namun dinamika ekonomi-politik lokal membuat tanah adat itu jatuh ketangan swasta (PT.KLS)
Sepasang suami istri yang pernah menjadi buruh PT.KLS juga mengisahkan kepiluannya bekerja dibawah kontrol industri sawit. Keduanya mengakui bahwa menjadi buruh sawit ditanah adat merupakan pengalaman terburuk yang pernah dialami dalam hidup.

Desakan kebutuhan ekonomi menjadi alasan utama mengapa sebagian dari orang Wana Posangke rela bekerja menjadi buruh sawit. Padahal tanah leluhur adalah “tana Wana” tempat mereka lahir, hidup bahkan tempat menutup hayat. Itu tanah yang pantang untuk dimiliki dan dikuasai orang luar (swasta). Namun dengan berbagai cara tanah adat didataran Taronggo disulap menjadi perkebunan sawit.

Mengungkit Rasa Bersalah
Orang Wana Posangke, dengan prinsip “hidup sederhana” menganggap bahwa dengan menjadi buruh sawit sudah sebuah kecukupan menutupi kekurangan kebutuhan dirumah. Tetapi disisi lain hati nurani mereka sesungguhnya tidaklah bangga bekerja dibawah telunjuk “kaum pemodal”. Bekerja diperkebunan sawit mereka anggap sebagai sebuah misi pengorbanan (baca:bunuh diri). Selain karena bertentangan dengan nilai-nilai adat istiadat juga bertentangan dengan nurani sebagai bagian dari komunitas adat.

Kisah seorang suami yang bekerja dibagian pembibitan plasma PT. KLS menjadi pembelajaran orang Wana Posangke. Sang suami itu mengaku bahwa menjadi buruh diperkebunan sawit PT.KLS bukanlah pekerjaan mulia. Itu adalah sebuah kesalahan besar yang tidak bisa hanya dibayarkan dengan kata maaf kepada leluhur bahkan kepada komunitasnya. Kepada penulis ia mengakui kesalahan dan penyesalannya:

“Dulu saya pernah bekerja dibagian pembibitan (sawit) yang akan di tanam di wilayah Salisarao dan Sumbol. Saya kerja sambil menghayal, perasaan saya tidak enak. Dalam hati saya ini tanah (leluhur) saya yang dikorbankan, (sementara) saya sendiri yang kerja di dalam”. Katanya dengan wajah sangat menyesal.

Menurutnya rasa bersalah yang besar membuat ia dan istri harus mundur dari pekerjaan memalukan itu (buruh). Setelah memutuskan berhenti bekerja ia dan sang istri kembali bekerja menggarap ladang warisan keluarga. Hingga saat ini niat untuk kembali bekerja di PT.KLS sudah dikubur dalam-dalam. Orang Wana Posangke menganggap bahwa bekerja menggarap sawit ditanah adat adalah noda yang sulit dihapuskan dari nurani sebagai masyarakat adat. (Zaiful)

Lihat Juga

Wana Lestari untuk LPHD Lampo

     Palu, 4/7/23. Alhamdulillah, Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Lampo ditetapkan sebagai pemenang ...

Mogombo, Menata Kehidupan Sosial

     Tau Taa Wana Posangke merupakan masyarakat dengan ikatan kekerabatan kuat, interaksi sosial yang ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *