Palu, 13/05/19, Sulawesi Tengah sedang menghadapi bencana banjir. Kira-kira begitulah gambaran kondisi beberapa daerah yang baru-baru ini dilanda bencana banjir bandang. Sejak tiga pekan lalu hampir seluruh wilayah Sulawesi Tengah diguyur hujan deras yang akhirnya menyebabkan banjir bandang disejumlah wilayah diantaranya, Kabupaten Sigi, Poso, Donggala dan Toli toli.
Apalagi di akhir bulan April hingga minggu pertama Bulan Mei ini curah hujan wilayah Sulawesi Tengah boleh di bilang sangat tinggi sehingga ancaman luapan banjir dan tanah longsor berpotensi tinggi. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Sigi banjir yang diikuti material lumpur berpasir dan kayu-kayu bekas penebangan liar menghantam Desa Bangga dan beberapa desa sekitarnya seperti Desa Balongga dan Desa Tuva.
Banjir di Bangga-Sigi yang menghanyutkan banyak potongan-potongan kayu merupakan sisa-sisa dari aktivitas penebangan liar (illegal logging) yang bersumber dari hulu-hutan. Ini menandai bahwa sejak puluhan tahun lalu penebangan liar sudah terjadi di hutan dan hulu sungai wilayah ini. Banyaknya potongan kayu mengakibatkan akses jalan menjadi sedikit lambat saat dibuka.
Tidak hanya di Kabupaten Sigi, di Kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso, aktivitas tambang pasir liar (galian C) di Sungai Tinelala menjadi salah satu pemicu banjir di wilyah tersebut sehingga menyebabkan kerusakan bendungan irigasi, berikut rumah-rumah warga ikut terendam. Tidak sampai disitu di Kecamatan Lage dan sejumlah kelurahan di Kota Poso ikut terendam banjir akibat meluapnya Sungai Poso. Keadaan ini cenderung disebabkan oleh maraknya pembalakan liar di hutan dan hulu sungai.
Sementara di Kota Palu sendiri perilaku masyarakat membuang sampah sebarangan masih menjadi kebiasaan sehari-hari yang nampaknya sulit diubah. Terbukti banyak saluran drainase di Kota Palu dipenuhi berbagai jenis sampah terutama sampah plastik. Tidak heran jika air tersumbat dan meluap kejalan raya. Lalu dimana tanggungjawab Pemda dalam membangun kesadaran ramah lingkungan pada masyarakat?
Kesadaran Saja Tidak Cukup
Bercermin dari bencana banjir Bangga-Sigi pada 29 April lalu, setidaknya hampir 600 KK atau lebih dari 2.500 jiwa terpaksa harus mengungsi menempati tenda-tenda darut. Meskipun normalisasi sungai bahkan relokasi penduduk akan dilakukan Pemda Suteng tetapi apabila normalisasi hutan (reboisasi) dan pengawasan hutan tidak dilakukan secara intens maka usaha itu nampaknya hanya akan sia-sia. Siapa yang menyangka jika ternyata hutan gundul maka banjir menyusul?
Melihat kondisi ini peran Pemda dan kesadaran masyarakat nampaknya belum cukup membangun gerakan kesadaran cinta lingkungan. Namun dibutuhkan kerjasama antar sektor birokrasi, masyarakat dan organisasi sipil guna membangun masa depan Sulteng yang minim resiko bencana banjir. (Nutfa)