Palu, 4/5/19. Perjuangan warga Desa Lee untuk merebut tanah dari HGU PT.SPN nampaknya masih belum berakhir. Sejak tanah milik warga diserobot olet PT.SPN sejak 2009 silam upaya penuntutan sudah banyak dilakukan termasuk aksi protes (demonstrasi) bahkan sudah melayangkan surat keberatan ke BPN Morowali Utara. Saat ini upaya lain adalah dengan menempuh jalur hukum.
Warga Lee mempercayakan kasus tenurial ini kepada Yansen Budiman, SH.,MH dan Moh. Amin Khoirun, SH.,MH untuk membela perkara rumit ini. Yansen dan rekannya Budiman sudah empat kali menggelar sidang barang bukti (barbuk) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palu dan yang terakhir pada 22 april lalu. Bukti pokok berupa surat-surat pembayaran pajak tanah, bukti legalitas kepemilikan tanah, maupun peta overlay dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Sulteng.
“hari ini sudah empat kali barang bukti disidangkan. Minggu depan (30/04) kita akan sidang saksi dari pihak warga Lee” ujar Yansen kepada jurnalis YMP Sulteng usai digelarnya sidang Barbuk (22/04) lalu. Pengacara muda yang merupakan alumni Fakultas Hukum Untad ini juga mengatakan bahwa pihak tergugat (PT.SPN dan BPN) tetap hadir dipersidangan-persidangan selanjutnya karena akan menunjukan bukti-bukti yang memperkuat posisi mereka didepan pengadilan.
Sementara pihak penggugat (warga Lee) tidak mau kalah. Mereka mempersiapkan strategi yang memperkuat posisi melawan PT.SPN saat persidangan seperti lampiran peta overlay dan menghadirkan saksi-saksi dari pihak warga Lee.
Demi Tanah, Hati Tak Gentar
Pada 30 april lalu PTUN kembali menggelar sidang lanjutan kasus sengketa tanah. Jorjius Lapalanda menghadirkan salah satu dari dua saksi yang dihadirkan oleh pihak penggugat. Ia merupakan “tuan kampung” sekaligus eks ketua dewan adat Kecamatan Mori Atas. Dalam keteranganya di depan majelis hakim Jorjius mengatakan bahwa aktivitas penyerobotan lahan oleh PT.SPN sudah merugikan warga Lee dan sekitarnya. “PT.SPN melakukan pembongkaran hutan dan terus melakukan penanaman sawit” ungkapnya.
Alasan kuat warga Lee menuntut PTSPN dan BPN bahwa dilahan HGU terdapat peninggalan sejarah diantaranya gua, benteng Belanda dan makam tua. Selain itu ada pula lahan peternakan, sumber air, persawahan dan tanah ulayat. Kesalahan besar BPN menurut warga Lee adalah memasukan sebagian wilayah Desa Lee kedalam SK HGU PT.SPN pada 27 januri 2009 itu yang tidak sesuai prosedur dan tanpa pelibatan Pemdes dan masyarakat lokal.
Sebagai “tuan kampung” yang mencintai tanah leluhurnya, Jorjius Lapalanda menyatakan tidak akan menyerah dalam mengawal kasus ini. Bahkan ia sama sakali tidak merasa takut ketika bersaksi dan berhadapan dengan perusahaan (PT.SPN) dan negara (BPN) didepan pengadilan (PTUN). “mereka (PT.SPN) bawa pengacaranya, mereka pikir saya takut berbicara (didepan majelis hakim)” ujar Jorjius dengan nada emosional disela persidangan (selasa 30/04).
Dalam sidang yang digelar pada pukul 10.00-15.00 Wita bertempat di ruang sidang utama PTUN, hadir pula Direktur Eksekutif Yayasan Merah Putih Amran Tambaru. Sebagaimana diketahui bahwa sejak kasus ini mencuat YMP Sulteng berkomitmen untuk terus memantau dan mengawal dinamika konflik tenurial yang melibatkan negara. (M.Nutfa)