Implementasi REDD+ tidak pernah lepas dari keterlibatan semua pihak dalam mengawal dan memantau realisasi REDD+ ditingkat tapak. Begitu pula Perguruan tinggi yang menjadi basis para akademsi dengan disiplin ilmu yang beragam, termasuk yang berkaitan dengan isu perubahan iklim. Hal ini tentunya akan mempermudah BP REDD+ dalam mengimplementasikan REDD+ di demonstration activities (DA) yang telah ditetapkan pemerintah.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu dari 11 Provinsi DA yang akan disentuh oleh REDD+, dengan rincian 5 Kabupaten, yaitu Donggala, Sigi, Toli toli, Parigi Moutong dan Tojo Una-una. Untuk itu, Asosiasi Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APKI) Region Sulawesi menggelar workshop penanganan perubahan iklim sebagai tindak lanjut kesepakatan antara BP REDD+ dengan pemerintah Sulteng pada April lalu. Workshop tersebut mengangkat tema Peningkatan Sinergitas Ilmiah dalam Penanganan Perubahan Iklim di Sulawesi yang dugelar di Palu 20-21 Oktober.
Dalam pertemuan tersebut diikuti oleh akademisi pemerhati perubahan iklim dan kehutanan yang ada di Perguruan Tinggi di Sulawesi, menghadirkan Nur Masripatin dari BP REDD+. Dia mengatakan bahwa peran Perguruan tinggi sangat membantu implementasi REDD+. “Akademisi atau peneliti bisa menjadi Think Tank sebagai basis penyedia untuk bahan-bahan negosiasi diforum kehutanan dan perubahan iklim, baik ditingkat lokal maupun internasional,” ujar Masripatin. Selain itu, Masripatin menambahkan bahwa Perguruan Tinggi juga dapat memfasilitasi penguatan masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam perlindungan hutan.
Dr. Henry Barus selaku ketua panitia mengatakan bahwa para akademisi menilai REDD+ sebagai salah satu strategi dalam menekan laju kerusakan hutan. REDD+ juga menjadi proyek yang harus dikawal realisasinya. “untuk itu, pelibatan kami (akademisi) menjadi bagian dari proses REDD+ agar berjalan dengan baik, dan meminimalisir indikasi penyalahgunaan dalam pengelolaan REDD+,” tukas Henry. Selain itu, keterlibatan para akademisi, lanjutnya, merupakan semangat Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. “Karena REDD+ akan bersentuhan langsung dengan masyarakat,” tegasnya.
APKI meminta kepada BP REDD+ agar bisa bekerjasama dengan semua pihak sesuai dengan tupoksinya. “Perubahan iklim harus kita tanggapi dengan program nyata. Jika dibiarkan terus menerus tanpa ditanggulangi dengan serius, dampaknya lebih parah lagi. Maka dari itu, APKI hadir sebagai mitra yang konsen memperhatikan dampak perubahan iklim dan isu-isu kehutanan,” ujar Henry.
Dalam workshop tersebut menghasilkan rekomendasi APKI region Sulawesi siap mengawal proyek REDD+ dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim yang semakin ekstrim, serta kerusakan hutan. APKI yang merupakan asosiasi jaringan para akademisi yang ada di region Sulawesi, telah membangun kesepahaman ditingkat akademisi dan membentuk kelembagaan sebagai wadah untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan perubahan iklim tersebut. “tentunya apa yang APKI harapkan tidak bisa berjalan baik jika tidak disuport oleh BP REDD+ maupun pemerintah,” tutup Henry.