Redd+ Bukan Landasan Utama Penyelamatan Hutan Global

Palu (22/6/2015), Belum lama ini skema pembiayaan dan teknis pelaksanaan Redd+ telah disepakati para delegasi di pertemuan tengah tahunan perubahan iklim di Bonn Jerman. Kesepakatan itu dipandang sebagai sukses terbaik dalam putaran forum negosiasi perubahan iklim setelah 10 tahun terkatung-katung (baca http://www.redd-monitor.org; http://blog.cifor.org; dan http://www.rtcc.org, diunduh Juni 2015). Kerangka kerja tersebut menyepakati sejumlah hal krusial yang menjadi perdebatan dan tarik menarik selama ini. Diantaranya, soal mekanisme pasar dan nonpasar, dobel kredit bagi investor karbon, mekanisme pembagian manfaat dan keuntungan, mekanisme tanggung gugat dan lain-lain.Menanggapi hal itu, manager program Yayasan Merah Putih (YMP) Azmi Sirajuddin mengungkapkan bahwa REDD+ tidak bisa dijadikan landasan utama sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan hutan, karena itu hanya skema. Skema itu diartikannya sebagai sesuatu yang diproyekkan, sehingga ada banyak pilihan-pilihan untuk menyelamatkan hutan. “REDD+ hanya salah satu bagiannya saja, karena didukung banyak pihak, makanya dia lebih berbunyi ketimbang program-program lainnya,” terangnya. Menurutnya di Indonesia itu ada banyak program yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan hutan, misalnya program rehabilitasi hutan dan lahan, untuk merehabilitasi kawasan yang sudah rusak atau lahan kritis. Ada program penanaman, program-program yang mereka lakukan bekerja sama dengan pemerintah setempat. Namun program penyelamatan hutan itu tidak hanya berhenti disitu melainkan juga melibatkan masyarakat. Azmi mencontohkan salah satu penyelamatan hutan versi masyarakat, yaitu pada masyarakat Tau Taa di Sulawesi Tengah. “Tau Taa tidak sembarangan membuka hutan dan hanya seperlunya saja. Itupun dibuka dalam waktu tertentu yaitu 10 tahun baru mereka membuka lagi hutan untuk kebutuhan ladang. Nah artinya banyak cara untuk menyelamatkan hutan tidak hanya REDD+, jadi Redd ini hanya kebetulan didukung oleh gerakan global makanya dia terkenal dan lebih didengarkan,” pungkasnya. Sedangkan mengenai nasib masyarakat ia beranggapan Redd+ tidak bisa diandalkan untuk menyelamatkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Pasalnya proyek ini lebih megutamakan hal-hal yang bersifat keuntungan bagi pelaksana proyek. “Misalnya kalau kebetulan yang melaksanakan itu perusahaan sawit atau pertambangan maka dia akan lebih mengutamakan perusahaannya ketimbang masyarakat dalam dan sekitar hutan,” tegasnya. Salah satu contohnya di Indonesia yaitu di Provinsi Jambi, terdapat kawasan restorasi hutan harapan yang dilakukan oleh perusahaan sawit, tapi kelihatan bahwa restorasi itu merupakan bagian dari program Redd yang masuk ke Jambi. Namun karena tidak melibatkan banyak masyarakat di dalam dan sekitar hutan pada proyek tersebut, maka perusahaan sawit itupun dinyatakan gagal.

Seriuskah Pemerintah dalam mengintegrasikan Kerangka Bonn ?
Kerangka Kerja (Bonn Frame Work) yang telah disepakati kedalam program kehutanan nasional yang dilaksanakan beberapa minggu lalu, tentunya perlu diadaptasi dalam kebijakan kehutanan nasional. Indonesia yang menjadi salah satu negara yang menandatangani kesepakatan tersebut tentunya membutuhkan proses yang panjang untuk mulai mengaplikasikannya. Dalam hal ini menurut Azmi semua tergantung pada keputusan Presiden Joko Widodo, apakah serius mengimplementasikan hasil-hasil yang ada di dalam kerangka kerja BONN yang telah disepakati atau tidak. Terlebih lagi kerangka kerja itu tidak mengikat, meskipun itu dianggap kemajuan setelah 10 tahun terakhir setelah Bali Action Plan 2007 yang merupakan salah satu perjanjian paling maju terkait hal-hal tehnis dalam frame. Karena kerangka kerja tersebut tidak mengikat Azmi mengatakan bahwa itulah kelemahan dari Bonn.
“Semua itu tergantung pemerintah nasional setempat, kalau mereka mau mengadaptasi hasil-hasil yang telah disepakati di Bonn itu dilaksanakan kalaupun tidak yang tidak ada juga sanksinya,” jelasnya.  Sebelumnya Jokowi ingin menyatukan semua Instansi-instansi non departemen dan non kementerian, yang ada kaitannya dengan hutan dan lahan itu ke dalam satu mekanisme kerja dalam pengertian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sehingga BP REDD dan dewan nasional perubahan iklim itu digabung ke dalam kementerian itu. Jokowi menginginkan ada lembaga sendiri atau di gabung kedalam KLHK. Namun menurut Azmi masalahnya bukan disitu, tetapi seberapa serius pemerintah tersebut mau menjabarkan berbagai hasil-hasil yang pernah dicapai dari putaran forum perubahan iklim. Ada beberapa hal misalnya tahun 2007, ada Bali Action Plan yang di buat di bali yang dimana ditandatangani oleh Presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian 2010 ada perjanjian kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Norwegia, salah satunya bantuan Norwegia pada Indonesia untuk menyelamatkan hutan sebesar 100 triliun rupiah. Beberapa hasil dari kesepakatan ini banyak hal yang diatur, contohnya bagaimana menerapkan secara serius perjanjian dengan Norwegia, ? salah satu contohnya moratorium hutan yaitu tidak memberikan ijin baru penggunaan kawasan hutan untuk berbagai kegiatan beberapa tahun kedepan. “Kita bisa melihat konsisten atau tidak pemerintah dalam hal itu, yaitu dengan melihat misalnya, di SULTENG ada berapa hutan primer yang sejak 2010 dikeluarkannya infes moratorium bisa diselamatkan dari perijinan tambang dan sawit, bisa dicek, artinya untuk mengujinya gampang sebenarnya, melihat konsistensi pemerintah serius tidak dalam menjalankan berbagai perjanjian yang ada sebelum kesepakatan Bonn itu,” pungkasnya.

Tantangan Pemerintah Terkait Perubahan Hutan Global
Indonesia sebagai Negara terbesar ketiga yang memiliki hutan tropis, setelah Brazil dan Republik Combo. Ketiga negara itulah yang menjadi acuan dunia untuk penyelamatan hutan secara global.  Ada beberapa hal yang sudah dicapai dan yang menggembirakan. Beberapa diantaranya yaitu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan moratorium hutan setiap tahun, sejak 2010 dan sekarang sudah berjalan lima tahun. Kedua Pemerintah memiliki beberapa kebijakan lainnya yang bisa menguntungkan masyarakat. Misalnya, pengelolaan hutan berbasis tapak atau yang disebut KPH “Kesatuan pengelolaan hutan”. Meskipun sebenarnya KPH itu sendiri belum terbukti memberikan keuntungan bagi masyarakat langsung. Karena kelihatannya KPH itu sendiri berubah menjadi badan usaha bisnis disektor kehutanan. Tapi, kita harus mengapresiasi apa yang telah dicapai karena juga ada tantangan. Tantangannya adalah seberapa mampu pemerintah Indonesia terutama Jokowi ini untuk konsisten tidak meliberalkan pengelolaan hutan kepada sektor swasta, karena harus ada pengendalian. Disamping keberhasilan itu ada juga tantangan yang tentunya dihadapi oleh pemerintah. Jokowi dalam hal ini tinggal melanjutkan apa yang pernah dilakukan dimasa lalu oleh presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono, sambil ia melakukan terobosan-terobosan baru yang menurut dia mampu dikerjakan oleh pemerintahannya selama lima tahun ini.  Hal ini menjadi menarik bila dikaitkan dengan kinerja pemerintah Sulawesi Tengah. Karena Sulteng termasuk dari 11 provinsi percontohan Redd di Indonesia. Disisi lain potensi tambang dan sawitnya sangat banyak, sementara diketahui bahwa tambang dan sawit itu salah satu industri sektor SDA yang sebenarnya merusak lingkungan. Azmi menjabarkan ada sekitar lebih dari 400 ijin tambang yang pernah dikeluarkan milifon daerah di Sulteng. Terus ada lebih dari 10 perijinan sawit yang luasannya hampir sekitar 900 ribu hektar. Artinya itu tantangan untuk penyelamatan hutan di Sulteng, tapi juga ada prestasi yang diraih, yaitu Sulteng berada pada urutan pertama tentang kelola hutan di Indonesia 2014. Mengalahkan provinsi Kalimantan Tengah dan Jambi, itu salah satu keberhasilannya. Namun meski demikian masih banyak hal lain yang perlu dibenahi di Sulteng. “Tantangannya untuk Gubernur kedepan, siapapun dia, mampu atau tidak menata semua perkebunan sawit yang ada dan pertambangan yang ada di Sulteng supaya tidak merusak hutan ?,” tanyanya. Kementerian Kehutanan sering mengatakan, ‘Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera’. Namun menurutnya itu sulit diwujudkan, karena hutan lestari itu selalu ditempatkan dalam konteks kegiatan konservasi semata yang tidak menghitung masyarakat di dalam dan sekitar hutan, nah sementara disisi lain kesejahteraan masyarakat itu semakin susah dijangkau karena semakin dibatasi akses mereka terhadap sumber daya hutan terutama sumber daya hutan non kayu. Ia berharap motto ‘masyarakat sejahtera hutan lestari’ itu bisa terwujud, masyarakat bisa sejahtera tetapi hutannya juga tidak rusak, meskipun hal itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dan sebenarnya sulit diwujudkan namun itulah tantangan terbesar bagi pemerintah. (RIA).

Lihat Juga

MASYARAKAT BALEAN TERIMA SK HUTAN DESA

(Jakarta, 26/10/2017),Presiden Jokowi menyerahkan SK Hutan Desa Balean kepada Ketua lembaga pengelola hutan Desa Balean, ...

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *