(Palu, 30/12/2015), Program hutan dan perubahan iklim (KLIMA) yang bergulir sejak tahun 2013, kini telah memasuki fase akhir. Selama tiga tahun (2013 – 2015) program ini berjalan, aktivitas yang dirancang dan dilakukan bersama komunitas di level tapak berkaitan langsung dengan upaya-upaya lokal pencegahan dini dampak perubahan iklim.
Program yang dirancang dan dijalankan di lima wilayah kabupaten meliputi Toli-Toli (Desa Betengon, Desa Anggasan); Donggala (Desa Rerang, Desa Panii); Parigi Moutong (Lombok Barat, Pebounang); Sigi (Sungku); Tojo Una-Una (Takibangke. Program ini menurut Azmi Siradjuddin (Manajer YMP) dilaksanakan pada lokasi tersebut karena kesiapan atau kesiagaan dini di level tapak tersebut menyentuh wilayah-wilayah kelola rakyat, yang juga bersinggungan bahkan beririsan dengan kawasan hutan negara. Seperti di unit-unit manajemen hutan semacam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dampelas Tinombo dan KPH Sivia Patuju, maupun yang berkaitan dengan Taman Nasional Lore Lindu.
Kiki Reski Amelia (Koordinator Klima) mengatakan bahwa beberapa aktivitas program Klima yang dijalankan riset mental map, riset tata guna hutan dan lahan, riset potensi sumber daya hutan, pemetaan wilayah kelola, penyusunan draf usulan kebijakan satu peta, hingga kongres masyarakat tepian hutan. Seluruh rangkaian aktivitas tersebut diharapkan sejak awal berkontribusi untuk mencapai tujuan jangak pendek (outcomes) dari program ini, yaitu “menguatnya peran aktif masyarakat sipil secara sistematis dan terorganisir untuk memastikan terlaksananya penyusunan satu peta terintegrasi (one map policy) di Sulawesi Tengah sesuai mandat Strategi Nasional REDD+”.
Program kegiatan ini menjadikan masyarakat semakin kritis dalam memantau lingkungannya, contoh bulan lalu ada perusahaan sawit yang berencana beroperasi di Desa Rerang. Awalnya masyatakat belum tahu akan baik buruknya perusahaan perkebunan sawit yang telah diizinkan oleh pemerintah desa. Setelah pendamping YMP mengajak masyarakat berdiskusi, masyarakat jadi tahu dampak yang dihasilkan. Dari hasil diskusi dan pemutaran film tersebut menurut Taufan (warga Desa Rerang) bahwa masyarakat semakin melindungi wilayahnya karena mengetahui dampak kalau hutan tidak dijaga. Tidak hanya, itu menurut ketua pemerhati lingkungan desa Rerang ini masyarakat luar juga mengakui dan tidak sembarang lagi masuk hutan seperti dulu.
Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ardin (pengamat sosial) bahwa hasil pendampingan YMP pada lokasi klima menurutnya dampak nyata adalah kecerdasan masyarakat dalam membuat peta – ini pengetahuan yang mahal. Isu wilayah, tata batas dan politk ruang menjadi pengetahuan masyarakat.
Namun menurut hasil pengamatan Ardin yang juga membantu memfasilitasi Evaluasi program Klima bahwa pendamping relatif kurang dalam menjabarkan isu-isu program umpanya belum muncul soal kemampuan masyarakat beradvokasi – pendamping masih butuh peningkatan kapasitas analisis sosial. Namun ia mengakui hal yang kuat dari pendamping YMP adalah pendekatannya dan metode interkasinya yang adaptif. Ungkapnya pada lokakarya evaluasi bersama program klima yang digelar 29 30 Desember 2015 di hotel Jazz Palu.(Ipul)