(Jakarta, 08-12-15), Kebijakan atau regulasi kondisi relatif tumpang tindih dan tidak memenuhi asas keadilan masyarakat. Secara kuantitas jumlah kebijakan/regulasi terbilang menunjukkan angka yang fantastik, namun rakyat membutuhkan kebijakan/regulasi yang sederhana tapi dijalankan.
Dr. Diani Sadiawati, SH, LLM merilis data Setneg dan Kemendagri bahwa kondisi Regulasi tahun 2000-2015, untuk Undang-undang yang dihasilkan sebanyak 504, Perpu 27; Peraturan Pemerintah 1.386; Perpres 1129; Kepres 977; Inpres 137; Permen sebanyak 8.331. Dari jumlah itu kategori regulasi yang terbesar dikeluarkan oleh Kehutanan sebanyak 1.585, disusul Jenis Pajak sebayak 1.061. sementara di daerah jumlah perda sejak era Reformasi hingga sekarang (2015) untuk tingkat Propinsi sebanyak 3.177 dan Kabupaten sebanyak 25.575 perda.
Namun Worldwide Governance Indicators (2013) mencatat bahwa Kualitas regulasi Indonesia berada pada persentase 46% di bawah Singapura (100%), Brunei Darussalam (83%), Thailand (58%), Malaysia (72%), dan Philipine (52%).
Kondisi saat ini, menurut Diani, Direktur Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan Bappenas ini “bahwa keberadaan regulasi Multi tafsir; berpotensi konflik, terjadi tumpang tindih; ketidaksesuaian asas; lemahnya efektivitas implementasi; tidak harmonis/tidak sinkron; tidak ada dasar hukumnya; tidak adanya aturan pelaksanaannya; tidak konsisten dan juga menimbulkan beban yang tidak perlu, baik terhadap kelompok sasaran maupun kelompok yang terkena dampak. Bila ini dibiarkan akan berdampak pada tidak adanya kepastian hukum dan turunan dampknya yakni inefesiensi anggaran; hilangnya rasa aman dalam bekerja; kinerja penyelenggara rendah; daya saing ekonomi rendah; minat investor menurun dan tentu saja menimbulkan beban baru bagi masyarakat”.
Agar bangsa ini dapat keluar dari masalah tersebut, menurut Diani Sadiawati yang juga salah satu anggota pansel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini akan mensikronkan kebijakan dan regulasi dan bahkan akan memangkas kebijakan yang tumpang tindih tersebut. Menurut Srikandi KPK ini, “pengambilan keputusan pemerintah dalam bentuk kebijakan saat ini menjadi permasalahan tersendiri, karena banyak kebijakan yang diambil justru memberi dampak negatif bagi masyarakat”, ungkapnya pada Legislative drafting training di Gedung Sarinah – Jilmly School of Law and Goverment.
Hal berbeda diungkap Prof Widodo, menurut Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kemeterian Hukum dan HAM RI ini, “banyaknya UU yang tidak berjalan dan tumpang tindih disebabkan desain politik hukum yang tidak jelas. Membangun politik hukum nasional sangat penting dikonstruksikan ulang berdasarkan Pembukaan UUD NKRI 1945. Dalam Pembukaan UUD NKRI 1945 yg merupakan satu kesatuan bagian dari hukum tertinggi di NKRI terkandung philosophische Grondslag nya bangsa Indonesia yaitu Pancasila – olehnya politik hukum haruslah tunduk pada “hukum tertinggi” dan hukum nasional haruslah tunduk pada atau dijiwai oleh Pancasila”.
Selain itu menurut pria kelahiran Jember ini “Disharmonisasi terjadi karena strukutur organisasi ketatanegaran kita belum tertata bagus. Prof Widodo yang juga Anggota Lembaga Kajian MPR RI ini punya keyakinan bahwa struktur pemerintahan seharusnya linear dengan hirarki perundang-undangan. Masalahnya dalam struktur organiasi kita tidak jelas. Kita bernegara tapi tidak jelas organisasinya. Dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, misalnya pada Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagaimana dengan peraturan menteri, keputusan menteri? Dimana posisi hirarkinya?”. (Ipul)