Vatutela, (5/12/15), Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun pada faktanya kebijakan yang dikeluarkan sering menjadikan warga khawatir bahkan tergusur. Salah satu kebijakan itu Peraturan Daerah (Perda) terkait pengelolaan taman hutan raya (Tahura) Sulteng. Pembahasan kebijakan di DPRD Provinsi Sulteng sejak Januari 2015 ini dinilai tidak partisipatif. Menurut Aspar, Ketua RT I. Proses penyusunan rancangan perda, penyusunan naskah akademik, sampai pada penetapan perda tersebut tidak melibatkan masyarakat.
Kawasan Tahura yang memiliki luas 7.128 Ha ini, secara administrasi berada pada wilayah Kabupaten Sigi (Desa Pombewe; Loru dan Ngatabaru) dan Kota Palu yang meliputi, Kelurahan Kawatuna; Lasoani; Poboya; Layana Indah; dan Kelurahan Tondo.
Di Keluruhan Tondo, Dusun Vatutela, khususnya di wilayah Ganti; Lumbu nibora, Velira dan Toruku dondori oleh warga Vatutela dijadikan tumpuan, dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Pada kawasan tersebut, warga menanam cabe, kemiri, cengkeh, kakao dan tanaman sayuran lainnya. Hasil tanaman yang diproduksi tersebut menurut Amlan, warga Vatutela adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi warga seperti pemenuhan kebutuhan pendidikan anak, kesehatan dan lainnya.
Menurut Kadir, Ketua RT 2 Perda Tahura No.2 Tahuan 2015 ini menjadikan warga was-was. Pendapat ini sangat beralasan karena boleh jadi UPTD Tahura kedepan, bisa saja secara sepihak mengklaim wilayah yang sejak lama dikelola rakyat untuk dijadikan taman wisata atau yang lainnya.
“Kalau kebun kita yang masuk di wilayah kemudian pengelolaan kawasan berpindah tangan maka warga Vatutela bisa mati semua. Coba kita tukar, Gubernur yang menjadi warga dan kita yang menjadi Gubernur – pasti dia akan mengatakan mengapa kebijakan pemerintah tidak mensejahterakan rakyatnya”, ungkap Amlan yang juga akrab dipanggil pak Imam.
Kekhawatiran warga bisa dimaklumi karena banyak rentetan peristiwa yang dialami masyarakat menyebabkan kehidupan warga menjadi terpuruk. Kawasan Tahura pada perda tersebut (ps. 7) terbagi atas blok perlindungan; blok pemanfaatan dan blok lainnya. Blok lainnya sendiri terdiri atas blok koleksi tumbuhan; rehabilitasi; tradisional; religi/budaya/sejarah; dan blok khusus.
Namun menurut Muslima, tokoh masyarakat Vatutela blok-blok tersebut tidak jelas dimana sebarannya dan perda tersebut tidak dilengkapi dengan peta — inilah yang membuat warga khawatir.
dalam diskusi terfokus, Amran Tambaru mengungkapkan bahwa Perda yang ditetapkan 8 Mei 2015 tersebut, bisa jadi peluang dan bisa jadi ancaman. Pada pasal-pasal Perda ini menurutnya ada celah hukum bagaimana warga bisa memperjuangkan wilayah kelola yang sejak dulu diusahakan agar diakui oleh pemerintah. Amran yang juga Direktur Yayasan Merah Putih, mengingatkan sebaiknya rasa was-was warga dijadikan tantangan bagaimana warga dan wilayahnya diakui keberadaannya oleh Pemda. Ia beralasan, karena banyak peluang yang disediakan negara dalam rangka pengakuan komunitas adat termasuk wilayahnya. Misalnya putusan MK 35; Permen 32, 2012; Revisi RTRW dengan mendorong zona tradisional atau mekanisme DCPCS; otonomi dengan mekanisme Desa Adat; IP4P (Permenag 9 tahun 2014).
Menanggapi hal tersebut, Amlan menekankan akan pentingnya persatuan warga agar wilayah kelola rakyat bisa diakui pemerintah. “Hal ini bisa diperjuangkan kalau warga bersatu dan harus kompak, jika ada satu orang diperlakukan tidak adil kita harus membantu. Kita mau berjuang untuk anak cucu kita,” ungkapnya penuh semangat. (Ipul)