Masyarakat Adat Menagih Komitmen Presiden
PALU, KOMPAS — Pengakuan negara secara hukum terhadap masyarakat adat yang selama ini terpinggirkan tidak cukup dengan penetapan hutan adat. Negara dituntut melakukan kewajibannya dengan memenuhi hak-hak dasar masyarakat di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
Pengakuan kembali negara terhadap masyarakat adat tersebut tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 Tahun 2012. Putusan ini terkait permohonan peninjauan kembali (judicial review) yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan perwakilan Masyarakat Hukum Adat di Riau dan Jawa Barat. Putusan itu memberi ruang dan mengembalikan hak masyarakat hukum adat atas tanah adat.
’’Putusan inididasari oleh pertimbangan filosofis tentang terjadinya ketimpangan sosial yang gagal diatasi oleh setiap rezim berkuasa. Kami melihat pembangunan selama ini timpang, hanya dinikmati oleh sedikit kalangan dengan mengorbankan banyak pihak lain. Tidak salah jika dikatakan, negara telah memiskinkan rakyatnya,” kata Achmad Sodiki, mantan hakim MK, yang mengeluarkan putusan itu, dalam Konferensi Nasional III Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (2/3).
Ketimpangan itu, katanya, bisa dilihat juga dari hasil kajian Ox-fam dan INFID yang menemukan, kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan 100 juta penduduk miskin.
Sodiki yang juga guru besar hukum di Universitas Brawijaya, Malang, ini mengapresiasi sikap Presiden Joko Widodo yang menetapkan delapan hutan adat dan satu hutan adat yang dicadangkan sebagai langkah maju dalam mengimplementasikan Putusan MK Nomor 35/2012. ’’Akhirnya, setelah bertahun-tahun, keputusan ini dijalankan,” katanya.
Meski demikian, menurut Sodiki, implementasi di lapangan masih jauh dari yang diharapkan. “Putusan MK ini belum tersosialisasikan secara luas kepada masyarakat adat sehingga banyak yang belum tahu bahwa hak mereka telah dijamin konstitusi. Selain itu, di tingkat daerah juga masih terjadi resistensi. Hal ini karena selama ini.pemberian izin penguasaan hutan terhadap korporasi merupakan jalan masuk bagi korupsi,” ujarnya.
Sulitnya perjuangan untuk memperoleh penetapan hutan adat ini juga disampaikan Amran Tambaru dari Yayasan Merah Putih yang mendampingi masyarakat adat Wana Posangke di Sulteng. Wana Posangke termasuk delapan masyarakat adat yang mendapat pengakuan dari pemerintah sejak 2016.
“Diperlukan kerja ekstra, terutama jika lokasi hutan adat tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Setelah perjuangan panjang, dari yang diusulkan masyarakat 25.000 hektar, yang ditetapkan sebagai hutan adat hanya 6.000 hektar,” katanya.
Menurut Amran, penetapan hutan adat di Wana Posangke ini tetap memiliki arti penting dari aspek hukum, terutama untuk menghentikan kriminalisasi. Namun, masih banyak pekerjaan rumah lain yang harus dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak dasar masyarakat mereka sebagai warga negara.
’’Selama ini, karena masyarakat Wana Posangke dianggap tinggal di hutan konservasi, hak-hak dasar mereka, seperti pendidikan dan kesehatan, tidak diberikan. Bahkan, KTP (kartu tanda penduduk) juga tidak ada,” katanya.
Rikardo Simarmata, ahli hukum adat dari Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno Universitas Gadjah Mada, mengatakan, penetapan hutan adat hanyalah pintu masuk dalam pemenuhan hak-hak masyarakat. ’’Penetapan ini bisa menjadi instrumen pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, dengan catatan negara dan pemerintah melakukan kewajiban-kewajibannya,” katanya.
Komitmen Presiden
Di Jakarta, masyarakat adat dari berbagai pelosok Nusantara yang tergabung dalam AMAN menagih komitmen Presiden Jo-kowi terhadap masyarakat adat yang disampaikan saat pemilihan presiden (pilpres). Mereka menagih pemenuhan janji-janji terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang masih terlalu kecil.
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengatakan, saat pilpres, Jokowi menjanjikan enam komitmen kepada masyarakat adat, yaitu pengakuan dan perlindungan hutan adat, peninjauan ulang undang-undang yang melanggar, penyelesaian konflik-konflik masyarakat adat, pembentukan lembaga permanen- (seperti satuan tugas yang akan mengurus masyarakat adat), penetapan desa adat, dan realisasi undang-undang tentang masyarakat adat.
Dari semua janji tersebut, baru sebagian kecil yang diwujudkan pemerintah, misalnya terkait penetapan hutan adat. ’’Sebenarnya hasilnya masih sedikit, masih kecil, baru 13.122 hektar yang diserahkan akhir tahun lalu,” ujarnya.
Selain pemenuhan hak-hak masyarakat adat, kata Abdon, persoalan lain yang harus diselesaikan adalah menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Dari catatan AMAN, ada 216 nama warga masyarakat adat yang dikriminalisasi sejak 1999.(AIK/SON)
sumber : Harian Kompas Edisi 3 Maret 2017