Palu (09/06/2019). Masyarakat Sulteng nampaknya sudah mulai melupakan ingatan traumatik tragedi 28 September 2018 silam. Tidaklah heran, ingatan itu sejak tiga bulan terakhir teralihkan oleh peristiwa alam lain yang terus-menerus terjadi disejumlah wilayah di Sulteng, yaitu banjir bandang berikut juga tanah longsor.
Bencana Banjir Di Daerah
Akhir April 2019 Kabupaten Sigi dikagetkan dengan banjir badang di wilayah Dolo Selatan tepatnya di Desa Bangga dan sekitarnya. Lebih dari 2.000 jiwa terpaksa mengungsi. Sementara, Di Kulawi akses darat poros Palu-Kulawi terputus akibat tanah longsor, sehingga hanya dapat dilalui kendaraan roda dua melalui jalur alternatif meskipun berbahaya.
Di Kabupaten Poso pada awal Mei beberapa desa di Kecamatan Lage, Pamona Selatan dan bahkan Poso Kota juga direndam banjir akibat luapan air sungai. Tidak terkecuali wilayah pesisir pantai barat Sirenja Kabupaten Donggala yang juga sampai saat ini terus direndam banjir rob akibat downlift.
Sedangkan di akhir Mei hingga awal Juni banjir bandang mulai melanda wilayah Kabupaten Morowali, Morowali Utara dan terbaru Parigi Moutong.
Di Morowali sebuah jembatan di Desa Dampala yang menghubungkan antara Kecamatan Bahodopi dan Kecamatan Bungku putus diterjang banjir, termasuk pemukiman penduduk yang ikut terendam. Di Morowali Utara jalur darat yang menghubungkan Sulteng dan Sultra harus terputus akibat derasnya banjir di Desa Baturube Kecamatan Bungku Utara.
Sementara, di Parigi Moutong Jalan Trans Sulawesi di Desa Bondoyong Kecamatan Sidoan juga putus akibat tanah longsor, berikut juga pemukiman penduduk Desa Sigenti Kecamatan Tinombo Selatan yang digenangi banjir.
Lalu bagaimana dengan Kota Palu? Kota ini tidak seperti daerah lainnya di Sulteng yang mengalami banjir parah, tetapi intensitas curah hujan yang tinggi selalu membuat banyak genangan air di sejumlah tempat dan ruas jalan akibat disfungsi sistem drainase. Parahnya ketika hujan mereda maka sampah plastik dominan ditemukan di ruas-ruas jalan kota.
Bencana Bukan Asumsi
Gempa bumi sudah hampir luput dari pemberitaan, namun banjir di sejumlah daerah kembali menjadi perhatian, terutama kerugian serta dampak yang ditimbulkan. Keadaan ini seolah menandai bahwa Sulteng saat ini memang sedang darurat bencana dan belum sepenuhnya tertangani berbasis mitigasi.
Sebelumnya, Manager Devisi Mitigasi Bencana dan Kerelawanan YMP Sulteng Zaiful sudah memperingatkan bahwa untuk saat ini Sulteng masih menghadapi berbagai bencana alam, namun hal ini belum sepenuhnya dianggap nyata (baca: tanggapi serius) oleh Pemerintah untuk upaya mitigasi. “sayangnya pemerintah menganggap bencana alam masih sebatas asumsi bukan realitas” ujar Zaiful pada Maret lalu.
Ia lanjut mengatakan bahwa berdasarkan riset yang telah dilakukan YMP, kesadaran mitigasi akan menentukan tinggi rendahnya resiko atau dampak yang ditimbulkan oleh bencana. “pengetahuan mitigasi masyarakat turut berpengaruh terhadap resiko dari bencana. Masyarakat yang tahu riwayat dan cara menghadapi bencana akan lebih sedikit menanggung resiko” terang Zaiful.
Berdasarkan pemantauan sejauh ini banjir di Sulteng sejak April hingga Juni 2019 telah mengakibatkan berbagai kerusakan infrastruktur umum diantaranya jalan, jembatan, tiang listrik, sekolah dan bahkan melumpuhkan pelayanan sosial serta roda perekonomian masyarakat. Diharapkan Pemda Sulteng dapat melakukan upaya-upaya mitigasi guna meminimalisir resiko bencana. (Nfa)