Pemerintah Menyerahkan Pengelolaan Hutan Adat
JAKARTA, KOMPAS – Di penghujung tahun 2016, pengelolaan hutan di Indonesia menapaki fase penting. Hal itu ditandai pengakuan negara atas masyarakat adat melalui pemberian hak pengelolaan hutan adat. Sebagai tahap awal, pengakuan diberikan kepada sembilan kelompok masyarakat hukum adat.
Kawasan hutan adat yang dikukuhkan negara, kemarin, 13.122,3 hektar. Area hutan itu dihuni sembilan kelompok masyarakat hukum adat berjumlah total 5.700 keluarga.
Presiden Joko Widodo menyatakan, pengakuan itu akan dilanjutkan ke area lain di Indonesia di lahan 12,7 juta hektar. ’’Perlu saya ingatkan, untuk hutan konservasi yang berubah status menjadi hukum adat atau hutan hak, fungsi konservasi harus dipertahankan. Fungsinya tak boleh diubah, apalagi diperjualbelikan,” kata Presiden, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12).
Pengakuan negara atas hutan adat bukan hanya menyangkut hak-hak mereka terhadap hutan. Pengakuan hutan adat sama artinya dengan pengakuan nilai-nilai dan jati diri asli bangsa Indonesia.
Menurut Presiden, sejak dulu masyarakat adat mampu mengelola hutan adat secara lestari berdasarkan kearifan lokal. Di tengah derasnya arus budaya global, keberadaan masyarakat adat amat penting dalam menjaga nilai-nilai asli bangsa Indonesia.
’’Saya tegaskan, negara hadir melindungi nilai-nilai asli bangsa kita. Negara hadir untuk berpihak kepada masyarakat, kepada rakyat yang lemah posisi tawarnya, khususnya masyarakat hukum adat,” kata Joko Widodo.
Sembilan wilayah hutan adat yang dikukuhkan pengelolaannya kepada masyarakat adalah Hutan Adat Ammatoa Kajang (Bulukumba, Sulawesi Selatan), Marga Sarampas (Merangin, Jambi), Wana Posangke (Moro-wali Utara, Sulawesi Tengah), dan Kasepuhan Karang (Lebak, Banten).
Selain itu, Bukit Sembahyang (Kerinci, Jambi), Bukit Tinggai (Kerinci, Jambi), Tigo Luhah Permenti Yang Berenam (Kerinci, Jambi), Tigo Luhah Kemantan (Kerinci, Jambi), dan Tombak Haminjon (Humbang Hasundutan, Sumatera Utara).
Sebelumnya, pada Selasa (20/12), Presiden memberikan hak pengelolaan lahan hutan ke sejumlah perwakilan kelompok tani seluas 12.000 hektar di Pulang Pisau, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Baya menjelaskan, pengakuan hutan adat itu mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Namun, diakui, realisasi pengukuhan hutan adat tidak dapat berjalan seketika setelah putusan diterbitkan karena harus diikuti dengan proses verifikasi lantaran sebagian hutan adat telah berubah status menjadi hutan yang dikelola swasta.
’’Kami harus menemui pihak swasta lebih dahulu untuk menyelesaikan status pengelolaan hutan itu. Sekarang mereka tidak boleh dihalangi lagi mengelola hutan adat,” kata Siti.
Pendampingan
Meski demikian, pemerintah tetap melaksanakan pendampingan sampai komunitas masyarakat adat mampu hidup mandiri. Pendampingan juga diperlukan agar pengelolaan hutan oleh masyarakat adat tidak merusak lingkungan. Siti meyakini, masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang ingin melestarikan lingkungannya.
Salam (46), pemangku adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, menyampaikan terima kasih kepada pemerintah yang telah mengukuhkan hutan adat. Pemerintah mengakui 313,99 hektar hutan di kawasan itu sebagai hutan adat yang dapat dikelola warga setempat.
Menurut Salam, selama ini kawasan itu berfungsi sebagai hutan lindung. Dengan demikian, hutan tersebut dijadikan sebagai sumber air minum dan pengairan lahan pertanian mereka.
Jara Wahid (40) dari komunitas masyarakat adat Kasepuhan Karang, Kabupaten Lebak, Banten, menuturkan, pengukuhan hutan adat itu membuat warga setempat merasa aman. Selama ini, mereka merasa tak nyaman mengelola hutan karena harus berhadapan dengan aparat penjaga hutan. Sebab, hutan adat itu sebelumnya dianggap masuk wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. (NDY)
sumber : Kompas Cetak edisi 31/12/2016
Terima kasih atas informasinya…semoga sukses
http:grosirsponmandi.klikspon.com/