Integrasi Perubahan Iklim, Hak Kesehatan dan Kekerasan Berbasis Gender untuk keadilan sosial

     Donggala, 16 Januari 2025. Lokakarya Pendahuluan Integrasi Perubahan Iklim, Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) & Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) sukses digelar di Kabupaten Donggala pada Kamis, 16 Januari 2025 pada Kantor Bappeda Donggala . Kegiatan ini diinisiasi oleh Yayasan Merah Putih Sulteng dan Yayasan IPAS melalui program CERAH (Climate, Environment, Reproductive Advocacy, and Health) melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik dari pemerintah Kab Donggala, organisasi masyarakat, hingga akademisi.
Kegiatan dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Donggala yang mewakili Bupati Donggala. Dalam sambutannya, ia menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menangani isu-isu strategis yang diangkat dalam lokakarya ini.
Lokakarya ini menghadirkan narasumber dari berbagai bidang, antara lain Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP2KB), DP3A dan organisasi Libu Perempuan Sulawesi Tengah. Materi mencakup dampak perubahan iklim terhadap kesehatan reproduksi, kekerasan berbasis gender, dan mitigasi risiko pada komunitas rentan, khususnya perempuan dan anak.

Isu Strategis
Aritatriana, M.Si., dari Dinas Lingkungan Hidup, memaparkan ada hubungan erat antara kerusakan lingkungan dan kerentanan perempuan terhadap kekerasan. Ia menyoroti fenomena perubahan iklim yang berdampak pada gagal panen, pemanasan global, dan peningkatan risiko pelecehan seksual di lokasi terdampak bencana. Banjir yang melanda Kabupaten Donggala pada tahun lalu berdampak besar, terutama pada perempuan kepala keluarga yang kehilangan penghasilan. Ia juga menyoroti bagaimana sampah dan kerusakan lingkungan seperti fenomena debu dari tambang galian C yang memperburuk situasi, serta pentingnya Program Kampung Iklim (Proklim) untuk mengatasi dampak pemanasan global secara lokal.
Hilda, warga Desa Loli Tasiburi, mengisahakan yang terjadi di desanya, “Kami menghadapi kesulitan besar terkait pengelolaan sampah. Banyak warga terpaksa membakar sampah karena minimnya fasilitas pengangkutan, yang justru menambah polusi – di tambah debu tambang galian C”
Maya Safira dari Libu Perempuan menyoroti perempuan nelayan di Lero yang kehilangan sumber daya tangkapan akibat kerusakan ekosistem laut. “Ronodange, hasil laut khas Lero, kini harus didatangkan dari Gorontalo. Situasi ini menunjukkan dampak nyata perubahan iklim terhadap ketahanan ekonomi perempuan,” ungkapnya. Bencana alam, kita 2018 terjadi bencana alam juga tidak lepas dari perubahan iklim yang terjadi. Pasca bencana terjadi penurunan kesehatan reproduksi perempuan akibat sulit nya sumber air bersih, Tingginya tingkat stres yang di alami oleh perempuan. Maya berkeyakinan bahwa perubahan iklim berkontribusi pada meningkatnya kasus kasus kekerasan berbasis gender di masyarakat seperti kekerasan seksual, perkawinan usia anak dan kekerasan dalam rumah tangga
Searah dengan itu Milhar Halili (Kadis DP3A Kabupaten Donggala) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di Kabupaten Donggala tahun 2023 tercatat jumlah sebanyak 49 kasus (kekerasan pada perempuan dan anak) tahun 2024 sebanyak 40 kasus dan rata-rata kasusnya pada kekerasan anak. Menurut Milhar, upaya pencegahan kekerasan dapat diminimalkan letika ada pembentukan Desa Ramah Perempuan dan Anak dengan program berbasis masyarakat yang bertujuan untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan melindungi anak. Hal ini penting mengingat 25% dari total populasi adalah anak-anak, yang menentukan masa depan bangsa.
Sementara itu, Mohamad Arif Panungkul, S.Sos., M.H., dari DP2KB, menjelaskan peran strategis lembaganya dalam meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi reproduksi untuk menciptakan keluarga yang berkualitas.

Rencana Tindak Lanjut
Lokakarya ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting, di antaranya:1) Memperluas implementasi program Kampung Iklim (Proklim) di desa-desa terdampak perubahan iklim; 2) Membangun sistem pengaduan dan mekanisme rujukan kasus KBGS di tingkat desa; 3) Mengintegrasikan dokumen administrasi kependudukan untuk mempermudah penanganan kasus KBGS; 4) Menguatkan pengawasan dan evaluasi dampak lingkungan akibat aktivitas tambang Galian C di wilayah Loli Raya.
Direktur Yayasan Merah Putih, Ir. Amran Tambaru, menegaskan perlunya komitmen bersama untuk mengintegrasikan isu perubahan iklim, kesehatan seksual, dan gender dalam kebijakan lokal. ” Lokakarya ini diharapkan menjadi momentum penting untuk mendorong kebijakan berbasis inklusi, keberlanjutan, dan keadilan sosial di Kabupaten Donggala,” ungkapnya.

Lihat Juga

Pelatihan Advokasi Hukum Meningkatkan Kesadaran Kolektif Masyarakat Adat Tau Taa Wana

Tojo Una-Una, Desember 2024 – Pelatihan advokasi hukum yang dilaksanakan pada 11–12 Desember di Hotel ...

Penguatan Solidaritas melalui Mogombo

Tojo Una-Una, November 2024 – Masyarakat adat Tau Taa Wana terus memperkuat solidaritas mereka melalui ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *