Parigi Moutong, 20 Januari 2025 – Lokakarya pendahuluan terkait integrasi isu Perubahan Iklim, Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) yang digelar di Kabupaten Parigi Moutong memunculkan fakta mengkhawatirkan. Data menunjukkan bahwa peningkatan eksplorasi alam, seperti tambang emas ilegal dan pembabatan hutan, tidak hanya memperparah kerusakan lingkungan tetapi juga berdampak pada peningkatan kasus kekerasan seksual pada anak.
Kartikowati, SKM., MM., Pelaksana Tugas Kepala Dinas P3AP2KB Kabupaten Parigi Moutong, dalam paparan bertajuk “Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) & Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim di Kabupaten Parigi Moutong” mengungkapkan bahwa jumlah kasus kekerasan di Kabupaten Parigi Moutong terus meningkat dalam empat tahun terakhir (2021-2024), dengan total 260 kasus. Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual terhadap anak mendominasi dengan 134 kasus.
“Kami menemukan pola bahwa eksplorasi sumber daya alam yang tidak terkendali di beberapa wilayah juga berkontribusi pada kerentanan sosial, termasuk tingginya kasus kekerasan seksual. Ketika aktivitas tambang meningkat, dampaknya tidak hanya pada lingkungan tetapi juga terhadap kehidupan sosial masyarakat,” jelas Kartikowati.
Bencana Lingkungan dan Kerentanan Sosial
Peserta lokakarya yang berasal dari desa terdampak turut berbagi pengalaman nyata tentang bagaimana eksplorasi alam memperburuk kerentanan mereka. St, warga Desa Buranga Kecamatan Ampibabo, menuturkan bahwa longsor pada tahun 2021 yang menewaskan tujuh warga diakibatkan oleh aktivitas tambang ilegal. Tidak hanya itu, krisis air bersih yang menyusul membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi.
Hal serupa disampaikan oleh An, warga Parigi, yang menyoroti bencana longsor di Desa Lobu Kecamatan Moutong pada 2023 akibat aktivitas tambang emas ilegal. Lima nyawa melayang dalam tragedi tersebut, sementara kerusakan lingkungan yang terjadi meninggalkan masalah yang berlarut-larut, termasuk peningkatan risiko pernikahan anak dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan.
Kesehatan Reproduksi dan Perempuan Pasca Bencana
Dewi Rana, S.H., M.Si., Direktur Perkumpulan Libu Perempuan, menjelaskan bagaimana bencana lingkungan tidak hanya memengaruhi lingkungan fisik tetapi juga kesehatan reproduksi perempuan. “Ketika akses terhadap air bersih sulit, beban kerja perempuan menjadi meningkat, dan mereka sering kali mengabaikan kesehatan reproduksinya demi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menyebabkan risiko gangguan reproduksi, menstruasi tidak teratur, hingga pendarahan akibat stres dan kelelahan,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya fasilitas pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang memadai, khususnya di wilayah terdampak bencana. Tanpa upaya serius dalam menangani dampak perubahan iklim terhadap perempuan, kesehatan reproduksi mereka akan terus berada dalam ancaman.
Upaya Pemerintah dan Komitmen Lintas Sektor
Pemda terus mengupayakan perbaikan lingkungan dan memperkecil angka kekerasan berbasis gender. Program Pemda Kab. Parigi Moutong terkait Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim antara lain sosialisasi 3R (Reduce, Reuse dan Ricycle), Penghijauan dan Reboisasi, Pembentukan Kelompok Kerja mangrove, kebijakan Peraturan Daerah No 7 Tahun 2024 Tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Solusi Pengelolaan Lanskap Darat dan Laut Terintegrasi (SOLUSI) 2024 – 2028 dan Program Carbon Trading, ungkap Muh. Idris, S.P., M.AP., Kabid PPLH Dinas LH Kab Parigi Moutong.
Untuk menekan kekerasan berbasis gender dan dampaknya, Kabupaten Parigi Moutong telah memiliki beberapa kebijakan seperti Perda Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak, serta PERBUB Nomor 10 Tahun 2024 yang mendirikan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Selain itu, pembentukan Aktivis Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di 10 desa dan sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga telah dilakukan.
Namun, lonjakan kekerasan seksual pada anak membuktikan bahwa langkah-langkah tersebut masih belum cukup untuk mengatasi akar masalah. “Upaya kolaboratif antara sektor lingkungan hidup, perlindungan perempuan, dan masyarakat sangat dibutuhkan. Eksplorasi alam yang tidak terkendali harus dihentikan, karena dampaknya meluas hingga ke sektor sosial,” tegas Kartikowati.
Lokakarya yang diinisiasi YMP Sulteng bekerjsama dengan Yayasan IPAS serta didukung Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong ini diakhiri dengan diskusi mendalam dan penyusunan rekomendasi untuk mendorong kebijakan berbasis lingkungan dan sosial yang lebih berkelanjutan. Kabupaten Parigi Moutong diharapkan dapat menjadi pelopor dalam pengintegrasian isu perubahan iklim, kesehatan reproduksi, dan kekerasan berbasis gender, guna menciptakan masa depan yang lebih aman bagi anak-anak dan perempuan.