Sigi, 23 Januari 2025, Perubahan iklim semakin nyata berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk di Kabupaten Sigi. Salah satu dampak signifikan yang dirasakan adalah penurunan produksi pertanian, yang secara langsung mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Dalam lokakarya pendahuluan yang membahas integrasi isu Perubahan Iklim, Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS), berbagai pihak menyoroti keterkaitan erat antara perubahan iklim dan peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Dampak Sosial dan Ekonomi dari Perubahan Iklim
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi, Moh. Afit, S.T., M.Si, menjelaskan bahwa kondisi geografis Sigi yang rentan terhadap bencana seperti banjir, longsor, dan kekeringan berkepanjangan turut memperburuk ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. Akibatnya, tekanan ekonomi meningkat, yang sering kali berujung pada meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Di beberapa desa, seperti Desa Kamarora B, intensitas hujan yang rendah menyebabkan banjir yang merusak lahan pertanian, sementara di Desa Tongoa, Kepala Desa melaporkan bahwa kasus stunting masih menjadi tantangan, meskipun mengalami penurunan dari 28 kasus pada tahun 2024 menjadi 19 kasus. Selain itu, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis dibandingkan dengan dukun turut memperparah kondisi kesehatan masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak.
Kaitan Perubahan Iklim dengan Kekerasan Berbasis Gender
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sigi, Ma’mun Maragau, S.Sos., MM, tingginya angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian serius. Sepanjang tahun lalu, tercatat sebanyak 59 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan 48 kasus telah diselesaikan melalui proses sidang.
Penyebab utama kekerasan ini adalah ketidakstabilan ekonomi akibat gagal panen dan berkurangnya pendapatan keluarga. Dalam situasi krisis, perempuan dan anak sering kali menjadi kelompok paling rentan yang mengalami dampak psikososial serta kekerasan dalam rumah tangga.
Dewi Rana, S.H., M.Si, dari Perkumpulan Libu Perempuan menekankan bahwa perubahan iklim memperburuk ketimpangan gender yang telah ada. Ketidakadilan gender semakin terasa karena perempuan menghadapi beban kerja ganda, baik di ranah domestik maupun ekonomi. Ia juga menyoroti pentingnya edukasi gender agar masyarakat memahami perbedaan gender dan mengurangi praktik ketidakadilan sosial yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sementara itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan KB Kabupaten Sigi, Riadin, S.Sos., M.Si, menjelaskan bahwa perubahan iklim berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan. Beberapa dampaknya termasuk peningkatan risiko kesehatan bagi ibu hamil dan bayi baru lahir akibat kurangnya akses terhadap sanitasi dan air bersih. Oleh karena itu, DP2KB terus mendorong peningkatan layanan kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak-hak kesehatan bagi perempuan dan anak, terutama di wilayah terpencil.
Upaya Penanggulangan dan Rekomendasi
Sebagai langkah mitigasi, Pemerintah Kabupaten Sigi melalui DP3A telah membentuk Perlindungan Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di beberapa desa untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, upaya advokasi serta kerja sama lintas sektor dengan Polsek, Polres, Puskesmas, dan RSUD juga dilakukan untuk mempercepat penanganan kasus kekerasan.
Dalam lokakarya ini mengemuka akan pentingnya kebijakan berbasis lingkungan seperti Peraturan Daerah (Perda) Sigi Hijau untuk memastikan keberlanjutan dan ketahanan ekologi. Integrasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam program Desa Ramah Perempuan dan Anak juga diusulkan sebagai langkah konkret dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kelompok rentan.
Rekomendasi lain yang disampaikan dalam lokakarya ini meliputi:
1. Percepatan penetapan Perda Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
2. Implementasi Program Kampung Iklim di beberapa desa.
3. Peningkatan layanan kesehatan dan edukasi reproduksi bagi perempuan di daerah terpencil.
4. Penguatan ekonomi perempuan melalui program berbasis lingkungan dan ketahanan pangan.
5. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam penanganan ibu hamil dan anak dalam kondisi kebencanaan.
Dengan langkah-langkah ini, menurut Fera Rifni Nusa (manajer program IPAS – YMP Sulteng) diharapkan Kabupaten Sigi dapat membangun ketahanan sosial dan ekonomi yang lebih kuat serta mengurangi dampak buruk perubahan iklim terhadap perempuan dan anak.