PLTA Bongka: Antara Listrik dan Air Mata di Tanah Adat*)

Oleh Amran Tambaru

     Di tengah hutan yang rindang, di bawah naungan pepohonan yang telah menyaksikan ribuan musim, hiduplah komunitas masyarakat adat yang setia menjaga tanah mereka. Lipu Linte, Lipu Tabe’i-Kasiala, dan Lipu Vananga Bulang-Uematopa—tiga nama yang mungkin terdengar asing bagi dunia luar, tetapi adalah rumah bagi jiwa-jiwa yang berakar pada bumi yang mereka pijak. Mereka hidup dari sumber daya alam yang melimpah, bernafas dengan irama kearifan lokal, dan menjadikan hukum adat sebagai pelita dalam gelap.
Namun, awan mendung datang membawa kabar baru. Di atas tanah adat mereka, pemerintah merencanakan pembangunan PLTA Bongka, proyek besar yang katanya akan membawa listrik bagi jutaan orang. Bagi dunia luar, proyek ini adalah cahaya, simbol kemajuan. Tetapi, bagi masyarakat adat, cahaya itu tampak seperti api yang membakar. Pertanyaan-pertanyaan menghantui mereka: apa yang akan terjadi pada air sungai yang selama ini menjadi nadi kehidupan? Apakah hutan mereka akan tetap menjadi rumah, atau berubah menjadi deretan beton yang asing?

Kehidupan yang Tak Sekadar Bertahan
Di Lipu Linte, sungai Paranonge adalah sumber air yang lebih dari sekadar memenuhi dahaga. Ia adalah teman yang setia, memberi air bersih untuk minum, mandi, dan mencuci. Tetapi air itu semakin sulit dijangkau, apalagi ketika kebutuhan terus meningkat. Di sisi lain, Pamsimas, sistem air bersih yang dibangun pemerintah, membawa janji yang tak sepenuhnya terpenuhi karena kualitasnya yang kurang baik.
Masyarakat adat di Lipu Tabe’i-Kasiala memiliki cerita serupa. Mereka hidup dari tanah ladang yang ditanami padi, ubi, dan jagung. Namun, jalan menuju desa mereka berlumpur, sulit dilalui, membuat hasil panen kadang tak sampai ke pasar. Di Lipu Vananga Bulang-Uematopa, masyarakat bertahan dengan menanam nilam, kemiri, dan cengkih, yang dijual di kota. Mereka memasak dengan kayu bakar, hidup di rumah sederhana, dan bercahaya dari panel surya. Tetapi, ancaman datang dari luar, dalam bentuk pengaplingan tanah dan rencana perkebunan sawit.

Hukum Adat yang Mulai Retak
Hukum adat yang selama ini menjadi pegangan masyarakat mulai retak oleh godaan modernitas. Tanah adat yang dulu dianggap sakral kini dijual kepada orang luar. Di beberapa tempat, batas-batas tanah ulayat menjadi kabur, bahkan tergusur oleh eksploitasi perusahaan. Masyarakat adat dipaksa berdamai dengan kenyataan pahit: tanah mereka, warisan dari leluhur, perlahan berubah menjadi angka-angka di peta pengaplingan.
Di Lipu Vananga Bulang, totua adat pernah berkata, “Tanah ini bukan milik kita. Kita hanya menjaganya untuk anak cucu.” Tetapi apa jadinya jika tanah itu tak lagi tersisa untuk mereka? Apa artinya menjaga jika semua yang mereka miliki diambil atas nama pembangunan?

Mencari Jalan Tengah
Di tengah bayang-bayang kehilangan, masyarakat adat mencoba bertahan. Mereka berkumpul dalam pertemuan adat (Mogombo Ada), membicarakan nasib tanah mereka, hutan mereka, dan hukum adat yang mulai tergerus. Mereka menyusun strategi, memperjuangkan penetapan hutan adat, dan menuntut pengakuan wilayah adat. Mereka tahu, jalan ini tidak mudah, tetapi harapan itu tetap ada.
Di sisi lain, pemerintah dan perusahaan punya peran besar dalam menentukan arah cerita ini. Pembangunan PLTA Bongka harus menjadi simbol harmonisasi, bukan dominasi. Dialog dengan masyarakat adat harus menjadi jantung dari setiap keputusan. Jika air bersih adalah masalah, pemerintah harus hadir dengan solusi nyata, bukan janji kosong. Jika tanah adat terancam, maka pengakuan hukum harus diperjuangkan agar mereka merasa aman.

Mimpi tentang Masa Depan
Bayangkan jika PLTA Bongka berdiri tanpa menghapus jejak masyarakat adat. Sungai Paranonge tetap mengalir, ladang tetap subur, dan hukum adat tetap menjadi kompas kehidupan. Bayangkan anak-anak dari Lipu Linte, Lipu Tabe’i-Kasiala, dan Lipu Vananga Bulang-Uematopa tumbuh besar dengan kebanggaan akan tradisi mereka, sambil menikmati listrik yang menerangi malam.
Proyek PLTA Bongka adalah persimpangan jalan. Ia bisa menjadi cahaya yang menerangi, atau api yang membakar. Tetapi jika semua pihak mau mendengar, berdialog, dan bekerja bersama, mungkin kita akan melihat keajaiban: pembangunan yang tidak hanya membawa listrik, tetapi juga menghidupkan kembali harapan masyarakat adat.

*) catatan Refleksi Pelatihan Advokasi di Ampana

 

 

 

Lihat Juga

Pelatihan Advokasi Hukum Meningkatkan Kesadaran Kolektif Masyarakat Adat Tau Taa Wana

Tojo Una-Una, Desember 2024 – Pelatihan advokasi hukum yang dilaksanakan pada 11–12 Desember di Hotel ...

Penguatan Solidaritas melalui Mogombo

Tojo Una-Una, November 2024 – Masyarakat adat Tau Taa Wana terus memperkuat solidaritas mereka melalui ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *