Pemberian atau penerbitan izin invesatsi yang berbasis lahan dan hutan rawan korupsi. Hal ini ditegaskan oleh Koordinator Program Simpul Belajar Advokasi Kampung (SIBAK) Yayasan Merah Putih, Sujarwadi. “Kecenderungan korupsi semakin terbuka lebar dalam setiap pemberian izin-izin investasi berbasis lahan,” ujarnya. Menurutnya, kewenangan Bupati/Walikota yang dalam mengeluarkan, memberikan dan menerbitkan satu izin investasi menjadi pintu masuk untuk prilaku korupsi. Apalagi, kewenangan pemberian izin tersebut di luar kontrol publik. Contoh kongkrit pemberian izin yang rawan korupsi ialah izin usaha pertambangan (IUP). Kategori izin ini memang kewenangannya langsung di level pemerintahan kabupaten maupun kota. Karena, basis otonomi daerah berada di tingkat kabupaten dan kota. Dengan luas cakupan areal kerja maksimal 5000 Ha. Oleh karena itu, kontrol publik yang kuat serta akuntabilitas pemerintah di level kabupaten/kota juga diperlukan.
Salah satu kasus yang menjadi perbincangan di Sulawesi Tengah saat ini, adalah pemberian izin pertambangan nikel dalam kawasan konservasi. Tepatnya, di areal Cagar Alam Morowali. Izin pertambangan skala lokal tersebut dikeluarkan oleh Bupati Morowali Anwar Hafid pada tahun 2011, seluas 145 hektar. Diberikan kepada pihak Gema Ripah Pratama (GRP).
Pemberian izin untuk pertambangan nikel tersebut mengandung misteri. Sebab, areal yang ditunjuk sebahagian besar berada di dalam kawasan hutan konservasi. Walaupun terjadi kontroversi pendapat antara pihak BKSDA dan BPKH Wilayah XVI Palu. Kontroversi seputar status kawasan juga menjadi alasan mulusnya keluar perizinan itu. Akuntabilitas sebagai proses transparansi publik dalam pemberian izin tersebut dipertanyakan.
Kasus lain, adalah pemberian izin pertambangan nikel dan biji besi di wilayah Kecamatan Tojo dan Ulu Bongka. Terutama, yang menjadi perhatian serius ialah areal kerja yang memasukkan wilayah Podi dan sekitarnya. Padahal, Podi dalam dokumen RTRW Kabupaten Tojo Una-Una adalah wilayah titik bencana alam. Wilayah tersebut langganan bencana longsor pasir, lumpur dan kerikil dari kawasan hulu Sungai Podi. Setiap tahunnya, pada puncak musim hujan, wilayah tersebut tenggelam oleh tutupan material yang tumpah dari hulu.
Anehnya, pada bulan April 2012, Bupati Tojo Una-Una Damsyik Ladjalani, mengeluarkan izin lokasi untuk pertambangan nikel dan biji besi. Diberikan kepada pihak Arthaindo, yang sebelumnya diberikan kepada perusahaan yang lain. Proses peralihan izin atas lokasi yang sama kepada pihak Arthaindo, ditengarai sarat rekayasa. Seharusnya, proses peralihan itu ditenderkan secara terbuka. Untuk diketahui publik, agar pihak lain dapat terlibat dalam proses tender. Penunjukan secara sepihak dalam peralihan izin tersebut yang ditengarai berindikasi manipulatif, dan tidak transparan. Ini indikator dari praktek korupsi.
Kasus pemberian izin pertambangan kepada Gema Ripah Pratama di Cagar Alam Morowali memanipulasi batas kawasan hutan konservasi. Sedangkan, pemberian izin pertambangan untuk Arthaindo di wilayah Podi yang rawan bencana, proses peralihan izinnya tidak terbuka (tidak ditenderkan secara publik). Kedua kasus ini, berpotensi praktek korupsi. Sebab, jauh dari akuntabilitas, transparansi dan partisipasi yang dipersyaratkan dalam prinsip tata kelola kehutanan yang baik.
Oleh karena itu, kedua kasus tersebut harus diselesaikan pula dengan pendekatan korupsi kehutanan. Terutama, dalam aspek pemberian izin yang sangat longgar dan jauh dari kontrol publik. Karena itu, Yayasan Merah Putih (YMP) memandang persoalan kejahatan kehutanan tidak hanya melulu pidana kehutanan umum. Tapi juga, dapat digiring ke lingkup hukum pidana korupsi. “Korupsi sektor kehutanan di Sulteng dapat mulai kita lacak dari kedua kasus tersebut,” ungkap Sujarwadi. *(Azmi)