….. Aku gak perlu uang ribuan
Yang aku mau uang merah cepe’an
Aku gak butuh kedudukan
Yang penting masih ada lahan ‘tuk makan
Asal ada babi untuk di panggang
Asal banyak ubi untuk ku makan
Aku cukup senang… aku cukup senang
Dan akupun tenang
Aku gak ngerti ada banyak tambang
Yang aku tahu banyak hutan yang hilang
Aku gak perduli banyak nada sumbang
Kita orang ini dianggap terbelakang
Sekilas lirik lagu lembah baliem milik grup slank ini menggambarkan bahwa masyarakat Baliem tidak butuh dengan duit berjuta-juta tidak juga dengan kekuasaan yang dapat menggoyang NKRI.
Sederhana, sebagaimana ungkap Indo Laku “bukan uang yang kami butuhkan, tapi tanah tempat kami untuk menanam, kami yakin Tuhan itu adil, Tuhan melindungi manusia, dan rezekinya dibagi rata”.
Sepulang dari Jakarta tempo hari Indo Laku yang mendapatkan award dari Kemeterian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sebagai penjaga hutan adat terbaik, menuturkan keaadaan kampungnya yang dikepung oleh investasi berbasis lahan yang bersifat ekspansif serta ekstraktif, perempuan tua itu menceritakan kebutuhan mereka akan pengakuan wilayah adat mereka, sehingga eksistensi mereka terjaga secara utuh.
Tau Taa Wana Posangke adalah bagian dari khazanah kekayaan negeri ini, yang mereka inginkan hanya hidup tenang, karena kebutuhan mereka telah disediakan oleh alam. Tambang, kebun besar monokultur, serta jaminan kesejahteraan ukuran masyarakat yang teracuni peradaban ekonomi modern mereka tidak kenali dalam sistem budaya mereka. Nada – nada sumbang yang menganggap mereka terbelakang dengan menolak investasi demi membangun mimpi cukong dan pemodal besar tidak mereka perdulikan, karena memang sekali lagi orang Taa Wana Posangke hidup dari lahir, besar hingga matinya harmoni dengan alam.
Kebutuhan hidup sehari-hari Tau Taa Wana posangke telah tersedia disekitar mereka, komoditas ekonomi yang dapat mendongkrak penghasilan yang diukur dengan mata uang sebelumnya tidak mereka kenali sama sekali sebelum interaksi yang intens dengan masyarakat kampung. Hingga menurut Indo Laku apa – apa yang mereka butuhkan sama sekali mereka tidak beli dari pasar.
Urusan pangan mereka telah menyerahkannya kepada tanah yang memberikan mereka tanaman yang begitu subur pula menyediakan nutrisi cukup, bahkan saat kemaraupun atau panen padi ladang yang gagal, mereka mampu bertahan dengan mengandalkan bete atau yang sering kita sebut dengan talas, yang jika dimasak oleh orang yang tidak pengalaman akan meninggalkan cita rasa gatal di lidah.
Dulu, Tau Taa Wana Posangke menjadikan garam sebagai barang mewah, karena cara mendapatkannya tidak mudah selain dengan cara membeli ke pasar dengan model transaksi yang tidak begitu mereka sukai mereka juga memproduksi garam sendiri yang mereka namakan dengan bure vatu, produksi garam tersebut mereka lakukan dengan serangkaian ritual adat dan proses pembuatannya dilakukan di pesisir yang kini merupakan bagian dari cagar alam. Indo laku mengatakan “ saya dulu kawin dengan Apa Laku ketika Apa Laku masih melakukan produksi bure vatu, itu pun dengan cara sembunyi-sembunyi, karena ketika itu tempat kami membuat bure vatu telah dijadikan sebagai cagar alam”, dari kisah ini kita dapat melihat betapa cagar alam itu telah menggugurkan sebuah kearifan lokal, karena generasi terakhir yang mengenal bure vatu ialah generasi Indo Laku. Sehingga dengan terputusnya tradisi tersebut hanya sampai pada Indo Laku maka lenyaplah sudah satu lagi khazanah budaya dari anak bangsa yang tidak dapat lestari karena adanya aturan terhadap ruang hidup atas budaya masyarakat mereka.(Fadjri)