Palu (24/06/2019). Sudah 9 bulan pasca bencana 28 september 2018 namun kehidupan penyintas baik di hunan sementara (Huntara) maupun hunian mandiri masih memperlihatkan kondisi miris dan nyaris terancam hidup miskin.
Bagaimana tidak, assesment asset yang dilakukan Mitra HuMA (Bantaya, Libu Perempuan, Karsa Institute, Celebes Institute dan YMP Sulteng) sampai Mei 2019 di Kabupaten Sigi, Donggala dan Kota Palu menemukan bahwa lebih dari 6 bulan pasca bencana penyintas yang berstatus kepala rumah tangga (suami) cenderung belum bekerja. Selain karena faktor traumatik, terputusnya sumber matapencaharian menjadi penyebab. Satu-satunya pekerjaan yang dominan mereka lakoni hanyalah sebagai buruh kasar atau buruh lepas. Sedangkan penyintas perempuan (istri) cenderung memilih bertahan hidup dengan berjualan ditepi jalan. Ini berarti bahwa banyak dari penyintas yang tidak bekerja dan kehilangan pekerjaan.
Sejalan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Sulteng mencatat pada Februari 2019, tingkat pengangguran terbuka sebesar 3,54 % atau sebanyak 54,843 orang mengalami kenaikan 4,7 ribu dibanding 2018 (mercusuar.web.id). Data tersebut dipengaruhi oleh permasalahan yang diakibatkan oleh bencana alam diantaranya kerusakan infrastruktur penunjang (sarana dan industri), lahan, maupun asset penyintas.
Lebih jauh lagi dalam pemaparan hasil assesment asset menurut salah satu peneliti Mohammad Nutfa bahwa nilai kerusakan asset yang dimiliki penyintas tidak berbanding lurus dengan nilai atau biaya ganti rugi yang diberikan Pemda … “Dari assesment ditemukan bahwa nilai biaya ganti rugi dari pemerintah tidak setara dengan nilai kerusakan aset rumah penyintas. Hasil assesment membuktikan penyintas kehilangan tanah dan rumah rata-rata 88 juta per rumah tangga, serta kerugian kerusakan rumah rata-rata 70 juta per rumah tangga. Nilai ini saja sudah tidak sesuai dengan biaya ganti rugi hunian tetap (Huntap) hanya 50 juta” terang Nutfa dalam workshop bertajuk Pemaparan Hasil Assesment Asset pada Kamis (20/06/2019) di Swiss Bell Hotel Palu.
Temuan lain yang disampaikan Nutfa adalah mengenai kerugian asset lahan, bangunan dan alat produksi. “sebanyak 79 % asset penyintas yang rusak/hilang adalah bangunan permanen, serta 46 % bangunan milik penyintas tidak bersertifikat terutama penyintas di Keluharan Petobo dan Balaroa karena tertimbun likuifaksi. “Begitu pula penyintas yang berprofesi sebagai nelayan, alat produksinya berupa perahu dan alat penangkap ikan mengalami kerusakan/kehilangan tata-rata 78,3 juta per nelayan. Kerugian asset ini rupanya tidak ada ganti rugi yang nilainya setara” terang Nutfa.
Searah dengan hal itu, menurut Syahrun (coordinator mitra program) bahwa nilai kerugian asset yang diterima penyintas tidak berbanding lurus dengan nilai ganti rugi sehingga penyintaslah yang terpaksa menanggungnya. Hal lainnya adalah tekanan ekonomi membuat penyintas cenderung kearah kerentanan ekonomi, yaitu kemiskinan. Namun yang perlu dipilirkan bersama adalah terjadi krisis kepercayaan masyarakat (penyintas) terhadap Pemda Sulteng akibat lemahnya kualitas penanganan bencana. (Zaiful)