Palu (25/06/2019). Rapat Kordinasi (Rakor) Hutan Adat yang diinisiasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah (Dishut Sulteng) pada Senin (24/06/2019) dibuka oleh Sekretaris Dinas, Amrin, SH., M.Si mewakili Kepala Dishut Sulteng. “Melalui rakor ini diharapkan terbangunnya koordinasi antara lembaga swadaya masyarakat bersama pemda dalam penanganan hutan adat dan masyarakat hukum adat di Sulawesi tengah” ujar Amrin.
Dalam sambutannya, disebutkan pula bahwa di Sulteng sendiri terdapat delapan wilayah indikatif hutan adat yang semuanya berpeluang mejadi hutan adat, yaitu hutan adat Kasiala, Uematangko, Mpoa, dan Vananga Bulang di Kabupaten Tojo Una-Una serta hutan adat Moa, Masewo, Lindu, dan Ngata Toro di Kabupaten Sigi. Perkembangan hutan adat yang diusulkan oleh delapan komunitas tersebut sampai saat ini masih dalam proses identifikasi dan sebagian sudah tahap verifikasi teknis lapangan oleh Tim KLHK.
Sedangkan untuk hutan adat lainnya dapat diproses menjadi hutan adat apabila terpenuhi prasyarat berupa pengakuan subjek hukum masyarakat adat melalui Perda dan atau pengakuan objek hukum dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah.
Untuk memperkaya pengetahuan dan perspektif bagi peserta, dihadirkan dua orang narasumber yakni Arief Budi Setiawan dari BPSKL Region Sulawesi dan Marzuki dari Antropologi Untad. Pada sesi presentasi, Arief menjelaskan perkembangan regulasi terkait hutan adat yakni Peraturan Menteri LHK Nomor 21/ 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak serta keberadaan SK Menteri LHK Nomor 312/2019 tentang Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I. Sedangkan akademisi Untad memaparkan antara lain konsepsi masyarakat adat dan sebaran masyarakat adat di Sulteng.
Pada sesi tanya jawab berlangsung sangat dinamis. Perdebatan sekaligus kekhawatiran perubahan status kawasan hutan menjadi hutan hak/adat, dan juga komentar yang cenderung menegasikan para pihak. Misalnya pandangan birokrat UPT KLHK yang masih meragukan kemampuan masyarakat adat mengelola hutan pasca penetapan hutan adatnya serta menilai kinerja LSM pendamping yang lepas tangan (tanggung jawab).
Terkait anggapan keliru itu, Amran Tambaru Direktur Eksekutif YMP Sulteng langsung memberikan klarifikasi sekaligus kritikan. Amran secara tegas mengatakan bahwa LSM khususnya YMP Sulteng sesungguhnya tidak pernah absen pasca penetapan hutan adat (Wana Posangke) tapi justru kehadiran negara (termasuk Pemda) yang harus dipertanyakan.
“Apakah pasca penetapan hutan adat (hanya) LSM punya tanggung jawab, negara dimana? Seharusnya negara harus hadir, misalnya dalam bentuk penyelesaiaan tata batas hutan adat oleh BPKH Wilayah XVI Palu. Tapi menurut mereka terkendala dengan tidak adanya regulasi yakni Peraturan Dirjen Planologi yang mengatur soal itu. Berikutnya, ada MoU antara BKSDA Sulteng dengan LPHA Wana Posangke, ini harusnya menjadi perhatian dari UPT KLHK terkait kolaborasi para pihak”
Selanjutnya Amran juga mengkritik proses Rakor ini yang tidak lebih baik dari proses Rakor pada tahun-tahun sebelumnya. Rakor Hutan Adat tahun ini kesannya seperti sosialisasi atau serimoni saja.
“idealnya Rakor ini dapat menginformasikan perkembangan usulan hutan adat, permasalahan yang dihadapi termasuk perda dan minimal rencana aksi tahun ini. Tidak seperti proses Rakor ini yang sifatnya sosialisasi bahkan cenderung seperti serimoni” kritik Amran.
Semoga ke depan, alur proses dan substansi Rakor Hutan Adat ini akan lebih baik untuk mendukung percepatan penetapan hutan adat serta berbagi peran dan pengawalan pada komunitas yang hutan adatnya telah diakui. (Nutfa)