Amran Tambaru *)
“Integrasi Hutan Adat dalam RTRW Sulteng” dapat menjadi terobosan (pertama kali di Indonesia-red) sekaligus penghormatan keberadaan hak-hak tradisional bagi masyarakat adat [Opini penulis pada Harian Radar Sulteng, 6 Agustus 2018].
Perkembangan pembahasan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulteng saat ini telah memasuki tahap penyusunan naskah Rancangan Perda, dan pada tanggal 17 Juni 2019 di Palu telah berlangsung Konsultasi Publik pertama. Jika mengamati naskah Rancangan Perda RTRWP Sulteng ini, sangat disayangkan bahwa posisi hutan adat tidak tegas pengaturannya – bahkan cenderung diabaikan.
Olehnya itu, artikel ini dimaksudkan memberikan gagasan atau sumbang saran ke pengambil kebijakan khususnya para perencana tata ruang terkait integrasi hutan adat dalam RTRWP Sulteng.
Mengapa Kawasan Strategis Provinsi
Mencermati kerangka hukum yang berlaku, Kawasan Strategis Provinsi (KSP) pada RTRWP didefinisikan sebagai wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, hukum, budaya, lingkungan, serta pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi (Permen ATR/ Kepala BPN No. 37/2016).
Penulis meyakni bahwa keberadaan hutan adat yang tersebar di Sulteng dapat dijadikan sebagai salah satu KSP dari sudut kepentingan perlindungan hak tradisional masyarakat hukum adat. Basis argumentasi atau pertimbangan yang digunakan dengan merujuk fakta-fakta dan perkembangan regulasi saat ini, antara lain :
Pertama; aspek luasan. Data dari Direktorat PKT-HA Kementerian LHK (2019) bahwa potensi sebaran hutan adat di Sulteng sekitar 410.428 hektar, sesuai hasil launching Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat pada tgl 26 Mei 2019 di Jakarta. Ini artinya bahwa dari aspek kuantitatif saja, potensi sebaran hutan adat ini melingkupi sekitar 7% dari luas daratan Sulteng atau 10% dari total luas Kawasan Hutan Sulteng. Jika dibandingkan dengan luasan kabupaten, maka total luas potensi hutan adat ini melebihi luas daratan beberapa Kabupaten seperti Buol dan Tolitoli.
Kedua; aspek pola ruang. Dalam dokumen rancangan RTRWP termasuk Sulteng, pola ruang terbagi atas dua Kawasan yakni Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Faktanya, hutan adat yang dimiliki oleh komunitas tidak hanya tersebar dalam Kawasan Lidung (Hutan Konservasi, dan Hutan Lindung) tapi juga tersebar pada Kawasan Budidaya (Hutan Produksi dan Areal Penggunaan Lain).
Ketiga, peraturan daerah. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, terdapat tiga Perda Kabupaten terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (PP-MHA). Ketiga Perda tersebut yakni : (1) Perda Kab Morowali No. 13 Tahun 2012 Tentang PP-MHA Suku Wana; (2) Perda Kab Sigi No. 15 Tahun 2014 Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan MHA di Kabupaten Sigi; dan (3) Perda Kab Tojo Una-Una No. 11 Tahun 2017 Tentang PP-MHA Tau Taa Wana. Artinya, pengakuan sebagai subjek hukum ini dimaknai sebagai pengakuan negara atas kedudukan hukum (legal standing) bagi masyarakat adat di Sulteng. Demikian pula pengakuan wilayah adat sebagai objek hukum dimaknai bahwa negara menghormati hak-hak tradisional masyarakat hukum adat (MHA).
Keempat, penetapan hutan adat. Tiga tahun terakhir, pemerintah telah menetapkan dua hutan adat di Sulteng yakni : (1) Hutan Adat Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara seluas 6.212 hektar berdasarkan SK Menteri LHK No. 6743 Tahun 2016 dan; (2) Hutan Adat Marena di Kabupaten Sigi seluas 756 hektar berdasarkan SK Menteri LHK No. 1156 Tahun 2017.
Kelima, peta kawasan hutan. Dua hutan adat yang ditetapkan telah dicantumkan pada Peta Kawasan Hutan Provinsi Sulteng. Hutan adat Wana Posangke sebelumnya telah tercantum pada peta lampiran SK Menteri LHK No. 517/ 2017 Tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah Sampai Dengan Tahun 2016, kemudian direvisi dengan SK Menteri LHK No. 8113/ 2018 Tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Sulawesi Tengah Sampai Dengan Tahun 2017, di mana keberadaan hutan adat Marena telah dicantumkan pula bersama hutan adat Wana Posangke.
KSP untuk Perlindungan Hak Tradisional MHA
Dengan melihat dasar pertimbangan diatas, dalam konteks revisi RTRWP Sulteng bahwa sudah selayaknya ada satu KSP khusus dari sudut kepentingan Perlindungan Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat. Usulan konkrit sebagai kriteria yang dapat dijadikan rujukan, antara lain : (1) Merupakan hutan adat yang dilindungi dan dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat sesuai kearifan lokal; (2) Merupakan tempat pelestarian dan pengembangan pengetahuan lokal; (3) Merupakan pola tata guna lahan – hutan, yang dapat berfungsi menjaga tata air, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mendukung kelangsungan pangan lokal; dan (4) Merupakan tempat keramat atau sakral dan pelaksanaan ritual adat (misalnya katumpua di komunitas Kaili -Tara, katuvua di komunitas Kulawi, gayapon di komunitas Balaesang, kapali di komunitas Taa, Wana dan Pamona).
Walaupun ada political will dari para perencana tata ruang dan konsensus para pihak untuk mengintegrasikan hutan adat dalam RTRWP, salah satu tatangan untuk menjadikan hutan adat sebagai KSP adalah masih rumitnya prosedur penyusunan dan penetapan rencana tata ruang KSP.
Akhirnya, semoga para pihak (stakeholder’s) yakni Pemerintah Provinsi terutama Tim Kordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Sulteng dan DPRD Provinsi dapat mengakomodir usulan dari beberapa organisasi masyarakat sipil untuk menjadikan hutan adat sebagai salah satu KSP pada RTRWP Sulteng. Upaya ini sejalan dengan semangat untuk penghormatan hak-hak tradisional MHA – sebagai penyandang hak (right holders) – sebagaimana amanah Konstitusi [Pasal 18B ayat (2) UUD 1945]. Disamping itu, inisiatif ini juga merupakan suatu terobosan hukum sekaligus – jika terwujud – nantinya dapat menjadi rujukan bagi provinsi lainnya untuk belajar dari Sulteng.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif – YMP Sulteng dan
Presidum Dewan Kehutanan Nasional 2016-2021
Sumber: Radar Sulteng (Opini), 3 Juli 2019
BACA JUGA:
LAUNCHING PETA ADAT LINDUNGI MASYARAKAT ADAT DAN KEARIFAN LOKAL