Palu (22/06/2019). Di pekan kedua bulan Juni 2019 Pemda Sulteng melalui Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang (BMPR) melakukan kegiatan konsultasi publik pertama guna membahas revisi Perda nomor 8 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Sulteng 2013-2033 pada senin (17/06) di Jazz Hotel Palu.
Dalam kegiatan penting itu beberapa organisasi masyarakat sipil (OMS) yang diundang turut hadir, salah satunya Yayasan Merah Putih (YMP) Sulteng yang memang sudah memantau proses dan progres revisi Ranperda ini sejak tahun lalu atau sebelum kejadian bencana 28 September 2018. Setelah seluruh tahapan konsultasi publik selesai Ranperda ini rencana akan diajukan kepihak DPRD Sulteng untuk dibahas dan disahkan untuk menjadi peraturan daerah (Perda) pada bulan Agustus tahun ini.
Mencermati keseluruhan isi Ranperda tersebut Direktur Eksekutif YMP Sulteng Amran Tambaru memperlihatkan reaksi kekecewaan besar. Amran menilai Ranperda tersebut tidak memihak pada masyarakat adat dan belum mengakomodir keberadaan hutan adat.
“seharusnya Ranperda RTRWP ini memihak kehidupan masyarakat adat dalam bentuk mengakomodir keberadaan hutan adat. Jika diperhatikan pasal per pasal dari naskah Ranperda ini, tidak tegas memposisikan hutan adat. Padahal, potensi hutan adat di Sulteng kurang lebih 410.428 ha atau lebih 10 % dari total luas kawasan hutan di Sulteng atau lebih luas dari Kabupaten Tolitoli atau Buol. Disamping itu penting diperhatikan bahwa ada tiga regulasi di tingkat daerah yang telah mengakui keberadaan masyarakat adat, baik di Morowali, Sigi dan Tojo Una-Una” ungkap alumni Faperta Untad ini.
Kritikan Amran tidak sampai disitu, ia mengatakan bahwa isi Ranperda juga tidak mengakomodir pengetahuan dan kearifan lokal yang selama ini dipraktikan oleh masyarakat adat dalam mengatur ruang dan tata gunalahannya.
Selain aspek substansi, Amran juga mengkritisi proses konsultasi publik ini. Seperti keterlibatan pihak OMS dan pihak swasta tidak representatif. “harusnya konsultasi publik ini mengundang lebih banyak peserta, baik perwakilan OMS maupun pihak swasta. Mengapa pihak swasta yang diundang hanya PT. CPM (Citra Palu Mineral), padahal ada beberapa perusahaan dan asosiasi yang terkait pemanfaatan ruang, seperti Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Sulteng dan lainnya. Kecurigaan saya, jangan-jangan pihak PT. CPM membiayai kegiatan seperti ini?” ungkap anggota Presidium Dewan Kehutanan Nasional ini.
Mekipun konsultasi berikutnya masih akan dilakukan Dinas BMPR dan TKPRD Sulteng, namun Amran bersikukuh bahwa YMP Sulteng akan tetap memantau proses legislasi Ranperda RTRWP tersebut di DPRD Sulteng. Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah diskusi ahli untuk membuat concept paper yang akan diserahkan kepada pihak ekskutif dan juga legislatif sebelum masa pengesahan. (Kiki & Nutfa)