Palu (02/05/19). Jika menengok kehidupan masyarakat tradisional diperdesaan kita menemukan corak kehidupan yang dekat dan harmonis dengan alam. Seperti pada komunitas adat Tau Ta’a Wana Posangke atau biasa disebut Orang Wana Posangke, mereka masih mempraktikan cara hidup ramah lingkungan yang santun terhadap alam. Praktik-praktik ekologis orang Wana Posangke sampai saat ini masih memperlihatkan relasi harmonis dengan alam. Komunitas yang hidup berdampingan dengan Cagar Alam Morowali ini menempatkan Diri mereka memiliki kedudukan sama dengan alam.
Orang Wana Posangke meyakini apapun wujud alam kedudukannya tetaplah sama dengan manusia, tanah adalah kehidupan, gunung adalah raga dan sungai adalah jiwa. Sehingga antara alam dan manusia dimaknai sebagai relasi yang koheren bahkan saling ketergantungan. Komunitas yang sudah tersentuh pendidikan informal (Skola Lipu) sejak tahun 2010 ini memandang diri mereka sebagai sahabat alam, bukan penguasa alam. Kehidupan Orang Wana Posangke ini sesungguhnya praktik menjaga keseimbangan ekologis yang memberikan pelajaran bahwa antara manusia dan lingkungan alamnya harus hidup selaras agar terhindar dari bencana alam.
Menjaga keseimbangan ekologis rupanya tidak hanya dipraktikan oleh komunitas adat Wana Posangke saja namun juga oleh komunitas pencinta alam, penggiat lingkungan dan organisasi sipil yang masih peduli dengan kelestarian lingkungan alam. Seperti pada 28 April lalu Remappala, Walhi Sulteng, YMP Sulteng, JKPP Bogor, BPBD Donggala, masyarakat lokal dan kelompok penggiat lingkungan melakukan aksi penanaman mangrove di pantai Kelurahan Kabonga Besar-Donggala.
Benteng Pertahanan Itu Bernama Mangrove
Kegiatan pelestarian pesisir pantai ini sesungguhnya inisiasi Remappala dalam rangka ulang tahunnya yang ke 30. Direktur Ekesekutif Remappala Afrizal T. Makkawaru mengatakan bahwa penanaman mangrove ini merupakan wujud kepedulian terhadap pesisir teluk Palu, sehingga kedepannya akan menjadi kegiatan tahunan yang akan terus dibudayakan. “yang terealisasi sebanyak 500 pohon dari 1000 pohon yang ditargetkan. Tahun depan akan dilakukan lagi, ini akan jadi rutinitas Remappala” katanya.
Afrizal kemudian mempertegas bahwa aksi penanaman mangrove ini sama sekali tidak untuk agenda politik atau tidak berkaitan dengan penolakan terhadap tanggul teluk Palu sebagaimana gencar dilakukan penggiat lingkungan dan organisasi sipil di Sulteng sejak dua bulan terakhir. “Kegiatan ini (penanaman mangrove) dalam rangka Milad Remappala, tidak ada kaitannya dengan penolakan tanggul teluk Palu. Sebenarnya tujuan kegiatan ini adalah mengajak bagaimana orang sadar mangrove” ungkap Afrizal kepada Jurnalis YMP Sulteng saat ditemui usai kegiatan pada minggu (28/04/2019). Menurut Afrizal, bahwa kegiatan mulia ini mendapat dukungan positif dari berbagai kalangan. Selain pihak Pemda (BPBD Donggala), TNI (Babinsa), KTH Kabonga, kelompok pelajar, adapula warga lokal pelestari mangrove yang hadir melibatkan diri dalam kepedulian lingkungan pesisir pantai mangrove ini.
Bahkan salah satu warga Kota Palu Rahman (49th) yang ikut dalam kegiatan bertema “aksi tanam 1000 mangrove” ini mengaku bahwa habitat mangrove sangat penting guna memperkecil resiko bencana pesisir. “kegiatan ini menjadi pembelajaran warga sekitar pantai karena tanaman mangrove sangat penting dalam pelestarian habitat laut dan sebagai penghalang laju ombak bahkan abrasi pantai. Harapan saya warga pesisir pantai baiknya terus melestarikan mangrove sebagai benteng pelindung” ujar penggiat lingkungan ini.
Penting diketahui bahwa pada 28 september 2018 lalu wilayah pantai Kabonga Besar tidak porak-poranda ketika diterjang tsunami karena terselamatkan oleh benteng alami yang berbaris memanjang, benteng itu adalah hutan mangrove yang tebal menahan tekanan gelombang tsunami. Sejak dahulu sudah terbukti bahwa mangrove adalah benteng pertahanan paling efisien untuk menghalau dan meredam tekanan gelombang tsunami. (Zaiful & Nutfa).