“Saat musim hujan orang Taa Wana mencari tempat aman (yang) tidak dekat dengan sungai dan tidak dekat wilayah yang mudah longsor sehingga di pilihnya tempat tinggal yang dirasa aman saat musim hujan. Meskipun sudah ditinggal saat musim panas namun saat musim penghujan kembali lagi ketempat ini (dataran tinggi). Setelah lepas musim penghujan akan pindah lagi ke ladang lainnya (tepi sungai). Saat musim hujan ladang yang (berada) dekat sungai dan gunung (bukit) tidak ditempati” (Wawancara 24-02-2018).
Begitulah penuturan Indo Imel (32 tahun), perempuan komunitas adat Tau Taa Wana Posangke yang kini hidup di dataran Taronggo Kabupaten Morowali Utara. Dibesarkan dengan tradisi berladang pindah oleh orang tuanya Indo Imel mampu membaca gerak tanda alam. Tidak banyak yang tahu jika ternyata praktik berladang pindah merupakan ciri khas orang Wana yang secara implisit merupakan praktik mitigasi terhadap bencana, dimana bagi orang Wana mengikuti dan menyesuaikan aktivitas mereka dengan gerak alam adalah praktik ekosentrisme fundamental.
Mitigasi sebagai Praktik Ekosentrisme
Orang Taa Wana memiliki kebiasaan hidup berladang pindah. Ladang mereka ada yang berada dikawasan lembah atau tepian sungai dan ada yang letaknya jauh dari sungai (ladang dataran tinggi). Kebiasaan orang-orangWana berladang pindah itu disesuaikan dengan musim. Jika musim penghujan mereka tidak mengolah dan menempati ladang dikawasan tepian sungai. Mereka akan berpindah ke ladang lainnya yang berada dikawasan pegunungan (dataran tinggi) dengan maksud menghindari jika sewaktu-waktu terjadi luapan sungai (banjir besar). Selepas musim penghujan barulah mereka akan kembali lagi keladang semula dikawasan tepi sungai. Jadi praktik berladang pindah orang Taa Wana ini merupakan siklus penyesuaian mereka dengan kondisi alam sekaligus praktik mitigasi bencana alam yang baku dalam komunitas.
Praktik ekosentrisme orang Taa Wana sesungguhnya dilandasi oleh keyakinan mereka bahwa alam memiliki kehendaknya sendiri yang tidak dapat ditolak apalagi dilampaui oleh manusia. Sebab baik manusia maupun alam memiliki kedudukan yang setara. Kehendak alam hanya dapat dihadapi, diikuti dan diselaraskan dengan praktik berladang yang sudah sering orang Wana dilakukan. Bagi orang-orang Taa Wana relasi mereka dengan alam adalah koheren dalam kehidupan mereka. Orang Taa Wana selalu menganggap dirinya sebagai sahabat alam, bukan musuh atau penakluk alam. Itulah mengapa ia bersikap bijak terhadap alam, sebab alam dipandang bagian dari jiwa dan raganya. Karena merasa bahagian dari alam, hidup berladang pindah bagi orang-orang Taa Wana merupakan aktivitas mengikuti irama gerak alam.
Dari pola hidup berladang pindah, rutinitas itu bukan hanya aktivitas bertani semata, tetapi juga dorongan intuisi mencari rasa aman dengan alam yang sewaktu-waktu dapat memberikan resiko. Pola-pola mengolah sumber makanan, membangun kawasan tempat tinggal, bertahan hidup, merupakan aktivitas orang Taa Wana sehari-hari dimana mereka sangat memahami bagaimana seharusnya hal itu dilakukan. Zaiful