Palu, 20/04/19 – Sejarah keberadaan mangrove dipesisir pantai teluk Palu hingga saat ini masih menjadi tanda tanya dan misteri besar bagi warga Kota Palu. Pasalnya, wacana pembangunan tanggul raksasa setinggi 1,5-3 meter dipantai Palu masih menjadi isu hangat dikalangan aktivis dan penggiat lingkungan yang bersikeras menolak mega proyek usulan badan kerjasama internasional Jepang (JICA) itu karena dianggap tidak cocok dengan kondisi teluk Palu yang dilalui patahan Palu-Koro. Apalagi proyek ini dibuat dari pendanaan hutang luar negeri sehingga Pemda Sulteng dipandang sangat irasional.
Polemik Mangrove VS Tanggul Teluk Palu
Beberapa waktu lalu, anggota dewan Walhi Nasional yang juga Direktur Econesia Institute Azmi Sirajuddin kepada jurnalis YMP Sulteng mengatakan bahwa penolakan terhadap rencana pembangunan tanggul laut akan rasional apabila OMS dan penggiat lingkungan mampu melakukan kajian ilmiah tandingan untuk dapat menggagalkan pembangunan tanggul laut sejauh 7000 meter itu (ymp.or.id 12/04). Namun Ketua Ikatan Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya justru berpendapat lain. Gegar mengklaim bahwa teluk Palu dan Selat Makassar memiliki kerentanan tsunami tinggi dengan siklus perulangan setiap 25 tahun sekali sehingga tanggul laut bukan model mitigasi bencana ideal, selain hutan pantai (mangrove) sebagai benteng alami (Kompas, 21/02).
Berkaitan dengan polemik itu, Kabid Penataan Ruang Dinas Binamarga dan Penataan Ruang Sulteng Ardin T. Taiyeb akhirnya angkat bicara. Ardin meluruskan bahwa teluk Palu bukannya tidak membutuhkan mangrove, melainkan perlu disesuaikan dengan kondisi bentang alam dan penting meninjau histori keberadaan mangrove dimasa lampau.
“Saya bukannya menolak mangrove. Kita harus berangkat dari kronologi, historis kemudian kondisi alam (teluk Palu). Dulu saat saya masih kecil saya ingat, dari bundaran (patung kuda) sampai di stasiun TVRI mangrove tidak pernah hidup. Saya tidak mengerti apakah karena kecapatan angin, gelombang, atau kadar garam. Akhirnya wilayah itu hanya menjadi wilayah yang disebut “Karampe”. Dalam bahasa setempat (Kaili) kata “Karampe” atau “Narampe” berarti terdampar akibat terbawa arus, (apa saja) tertumpuk disitu. Saat saya masih kecil disitulah tempat saya bermain. Di wilayah itu (pesisr teluk Palu) sudah berapa kali ditanami mangrove hanya satu saja (pohon jomblo) yang (bertahan) hidup. Anak mangrove saja tidak bisa hidup karena memang tidak sesuai dengan lahan untuk dipaksa dihidupi mangrove” terang Ardin saat setelah mengisi kegiatan Workshop Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam rangka Revisi RTRW Sulteng di tahun ini.
RTRW Tanggungjawab Bersama?
Berkaitan dengan revisi Perda RTRW pasca bencana, sejauh ini memperlihatkan progres dan hampir mendekati final yang memang ditargetkan rampung pada agustus nanti sebagaimana janji Dinas Binamarga dan Penataan Ruang provinsi. Sehingga tidak mengherankan jika workshop KLHS dilakukan sebagai langkah analisis Pemda maupun OMS. KLHS sesungguhnya sudah termaktub dalam UU No. 32 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan UU tersebut bahwa KLHS urgen dilakukan dalam penyusunan dan evaluasi (revisi) RTRW, rencana pembangunan, kebijakan dan program yang dianggap menimbulkan potensi dampak terhadap lingkungan hidup. Sehingga keterlibatan organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan sebagai lembaga pengontrol. Tidak terkecuai YMP dan Walhi Sulteng yang turut hadir dalam kegiatan tersebut.
Dalam kegiatan ini orientas KLHS diantaranya ditujukan pada pengkajian pengaruh kebijakan, rencana dan program-program terkait isu lingkungan hidup di Sulteng. Bahkan praksis mengkaji mengenai kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam pembangunan, prediksi dampak maupun mengenai resiko terhadap lingkungan hidup dan komunitas adat.
Namun Kiki Rizki Amelia justru menyoroti proses workshop itu yang dinilainya terkesan berat sebelah. Menurut Kiki pihak Pemda masih belum memberikan ruang besar pada OMS untuk memberikan argumentasi tandingan dan analisis rasional.” Menurut Kiki pada kegiatan workshop sangat kelihatan pemerintah mau terus dominan, pendapat kita sedikit saja direspon. Padahal suara kita perlu di dengar sebab (OMS) turut mengawal proses ini” ungkap Manager Advokasi dan Perluasan Jaringan YMP Sulteng itu dengan wajah kesal.
Terlepas dari itu, di akhir workshop Ardin T. Taiyeb menghimbau agar proses revisi Perda RTRW yang sebentar lagi mencapai tahap akhir mesti terus dikawal baik oleh Pemda sendiri maupun oleh OMS sebab instrumen hukum ini menurtnya merupakan tangungjawab bersama. “RTRW sebagaimana yang sudah dirancang optimis selesai pada bulan agustus. Terkait dengan percepatan penyelesaian RTRW sendiri adalah merupakan bagian dari tanggung jawab kita semua. Maju mundurnya Sulteng bergantung dari kita semua” tegas Ardin saat menutup kegiatan. (M.Nutfa)