(Banggai, 10/5/2016),Tentunya kita semua tahu istilah May Day, setiap kali memasuki bulan Mei istilah “May Day” kerap kali menjadi simbol aksi massa, tagline di facebook atau bahkan menjadi istilah Meme di kalangan kelas menengah perkotaan. Mulai dari hari buruh sedunia, hari kenaikan Isa Almasih sampai hari jatuhnya rezim orde baru ada di bulan Mei. Dari sekian banyak momentum bersejarah itu, ada satu momentum bersejarah bagi rakyat Indonesia pada bulan Mei yang belum tentu semua mayoritas masyarakat Indonesia mengenalinya. Hari apa itu ? Hari matinya buruh perempuan yang berjuang untuk kesejahteraan nya. Sebagian orang mengenalinya sebagai Hari Marsinah, 8 Mei 1993.

Marsinah, adalah seorang perempuan Muda yang mendedikasikan hidupnya menjadi buruh di perusahaan arloji PT. Catur Putra Surya, Sidoarjo. Selama dia menjadi buruh di perusahaan arloji tersebut, dia tidak pernah merasakan yang namanya kesejahteraan. Mulai dari cuti haid dan hamil, jaminan keselamatan kerja, jaminan kehidupan layak bagi perempuan dan buruh pada umumnya, jaminan masa depan bagi anak-anak buruh, semua hal itu tidak pernah dia temukan selama dia menjadi buruh dan sebagai warga negara Indonesia. Kehidupan yang serba memiskinkan itu, membuat dia memberanikan diri menabuh genderang perang terhadap negara dan korporasi.
Tanggal 03 Mei 1993, Marsinah dan kawan-kawan senasibnya malakukan unjuk rasa terhadap perusahaan arloji PT. CPS, karena pihak perusahaan tidak menerapkan kenaikan upah sebesar 20 % yang telah menjadi ketetapan pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, Aksi yang terus-menerus dilakukan oleh Marsinah dan kawan-kawannya itu membuat 13 orang buruh kawan Marsinah dibawa ke Kodim setempat dan dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dari perusahaan. Kejadian yang ganjal itu memancing Marsinah mendatangi markas Kodim sendirian untuk mempertanyakan keberadaan kawan-kawan buruhnya. Namum setelah pulang dari markas Kodim, Marsinah menghilang tampa jejak, dan kemudian ditemukan pada tanggal 08 Mei 1993 dengan keadaan tidak bernyawa lagi.
Keberanian dan semangat juang Marsinah, mengingatkan saya pada sosok perempuan paruh baya yang terpaksa menjadi buruh perkebunan sawit demi menghidupi enam (6) orang anaknya. Nurtin Waminu namanya. Dia adalah seorang perempuan paruh baya berbadan besar, yang sejak tahun 2009 menghabiskan waktu dan tenaganya untuk menjadi buruh perkebunan sawit milik PT.Wiramas Permai, salah satu anak perusahaan Kencana Agri di Kecamatn Bualemo, Kabupaten Banggai.
Nurtin Waminu lahir pada tahun 1975 di Desa Longkoga Barat (Salu), Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Tahun 1999 dia menikah dengan Muhdi Al-Hadad seorang lelaki keturunan arab yang tidak punya harta warisan sehingga “mau tidak mau” mengikuti jejak Nurtin Waminu bekerja sebagai buruh perkebunan sawit milik PT.Wiramas Permai demi menghidupi anak-anaknya. Kondisi hidup yang serba susah itu, tidak menjadikan Nurtin putus asa, demi sepiring nasi dan segelas air minum untuk anak-anaknya. Nurtin tetap teguh menghadapi berbagai macam penindasan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit di tempat dia bekerja. Selama Nurtin manjadi buruh perkebunan sawit. Nurtin bahkan tidak mengenal apa yang menjadi hak-haknya sebagai buruh apalagi merasakannya. Mulai dari cuti haid dan hamil, jaminan pendidikan bagi anak-anak buruh, jaminan keselamatan dan kesehatan bagi buruh dan anak-anaknya, serta jaminan sosial lainnya sama sekali tidak dikenal oleh Nurtin dan kawan-kawan senasibnya.

Tahun 2010 kemarin, Nurtin merasakan sendiri bagaimana sikap tidak manusiawi oleh perusahaan perkebunan sawit terhadap dirinya. Saat itu Nurtin sedang mengandung anak ke limanya. Ketika umur kandungan Nurtin memasuki sembilan bulan, Nurtin datang ke kantor PT.Wiramas Permai dengan tujuan meminta izin untuk melahirkan. Namun permintaan izin Nurtin tidak disetujui oleh perusahaan. Tepat pada tanggal 8 Desember 2010, anak kelima Nurtin pun lahir ketika Nurtin sedang melaksanakan pekerjaan sebagai buruh perkebunan sawit di lokasi perkebunan sawit PT.Wiramas Permai. Dengan kondisi yang sangat lemah, Nurtin dibawa ke Rumah Sakit terdekat oleh kawan-kawan buruh nya., Al-Hamdullilah, bayi Nurtin lahir dengan selamat. Demi mengenang peristiwa tersebut, bayi perempuan Nurtin yang mungil dan imut itu diberi nama Sawitri Al-Hadad.
Rasa takut akan ancaman PHK oleh Perusahaan, memaksa Nurtin bekerja kembali di perkebunan sawit tiga hari setelah melahirkan Sawitri Al-Hadad. Walaupun hidup serba menderita dan miskin papa, Sawitri tetap hidup dan tumbuh seperti anak-anak lainnya. berkat kerja keras, semangat, keberanian seorang perempuan paruh baya berbadan besar itu, Sawitri kini bisa berada di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) di Desa Longkoga Barat.
Hidup ini memang berat, penuh duka tanpa suka, banyak liku-likunya lagi, begitu yang dikatakan para pujangga di perkotaan. Hal itu benar-benar dirasakan sendiri oleh Nurtin Waminu. Sudah hidup susah, upah buruh tidak sesuai dengan UMP, tidak ada jaminan keselamatan kerja, tidak ada jaminan sosial, cuti haid dan hamil tidak diberikan, utang bahan pokok menumpuk, dan sudah begitu malah di PHK oleh bos perusahaan. Betapa tidak manusiawinya PT.Wiramas Permai terhadap Nurtin Waminu dan kawan-kawannya. Tanggal 21 Februari 2015 kemarin, Nurtin dan 179 buruh lainnya di PHK secara sepihak tampa diberikan pasangon dan hak-hak lainnya. Peristiwa yang tidak manusiawi itu membuat kebencian terhadap perusahaan, yang sejak 2009 dipendam oleh Nurtin dan rekan buruhnya, membludak dan mendorong semangat juang serta keberanian Nurtin dan kawan buruhnya bangkit secara bersamaan, seperti kala Marsinah memimpin aksi massa 34 tahun yang lalu.
Dimulai dari membentuk Organisasi Rakyat yang diberi nama Serikat Buruh Perkebunan Tompotika (SBPT), aksi demonstrasi ke kantor perusahaan, DPRD dan PemkabBanggai, sampai pada pemalangan jalan koridor perusahaan. Semua itu dilakukan oleh Nurtin dan rekan buruhnya demi mengangkat kembali harkat dan martabat sebagai manusia yang telah dirampas oleh perusahaan perkebunan sawit PT.Wiramas Permai.
Nurtin dan Marsinah adalah dua perempuan Indonesia yang sama-sama merasakan ganasnya hidup di negara yang menganut sistem perburuhan ala kolonial ini. Sama-sama berjuang untuk mendapatkan hak-hak sebagai buruh, sama-sama punya keberanian menentang segala bentuk eksploitasi dan penindasan di negri ini, tetapi Nurtin dan Marsinah tentunya banyak perbedaan. Sosok Marsinah dikenal sebagai perempuan yang berpengatahuan luas dan punya cita-cita yang sama dengan pendiri bangsa ini. Nah, kalau Nurtin Waminu, jangan pernah kita berpikir apa yang ada dalam diri Marsinah, ada juga dalam diri Nurtin, walaupun Nurtin juga terlibat dalam organisasi buruh dan sering mengikuti rapat-rapat yang dilakukan oleh organisasi rakyat seperti Marsinah kala itu. Nurtin tidak berpengatahuan luas seperti Marsinah. Namun keduanya punya kesamaan, berani menyuarakan penindasan buruh dan kaum perempuan.
Ya, memang Nurtin telah berjuang bersama kawan-kawannya melawan kebijakan perusahaan yang tidak pro terhadap buruh. Tapi satu hal yang perlu kita tahu, sebelum saya menutup tulisan ini, saya hanya mau menyampaikan kepada tuan-tuan dan puan-puan, bahwa Nurtin dan kawan-kawannya adalah manusia biasa, manusia yang butuh bimbingan serta pendidikan yang berdisplin tinggi, agar Nurtin dan kawan-kawannya bisa seperti Marsinah. Sebab sejak saya mengenal Nurtin di tahun 2014 akhir sampai sekarang, dalam pikiran dan hati Nurtin tidak pernah terlintas tentang cita-cita kemerdakaan yang khakiki seperti yang dicita-citakan Marsinah , dalam pikiran dan hati Nurtin Waminu hanya ada satu kata “kapan pasangon dibayarkan” .
Ya, paling tidak dalam dirinya Nurtin ada keberanian dan semangat mendapatkan haknya, seperti yang dimiliki oleh Marsinah. Maka dari itu sudah menjadi tugas kita bersama untuk memberikan bimbingan serta pendidikan yang berdisplin tinggi, agar Nurtin dan kawan-kawannya bisa seperti Marsinah dan pahlawan-pahlawan perempuan yang lain nya. Peristiwa tersebut paling tidak menunjukkan bagaimana negara dan pengusaha berkonkalikong untuk merampas kesejahteraan rakyat kecil, dan juga bagaimana rentannya posisi perempuan dalam sistem perburuhan di Indonesia.(Syamsul)
Selamat mengenang kembali perjuangan Marsinah
mari jadi kan Mei sebagai bulan perjuangan rakyat